Wednesday, April 16, 2014

Pilihan

Waktu isya telah lama berlalu, anak lelakiku tak menampakkan tanda kantuk di wajahnya. Dia memaksaku untuk menemaninya berbincang. Resahku dibuat dengan tingkahnya. Betapa tidak pikiranku sedang kalut karena tak menemui solusi bagaimana meramu kata untuk menjelaskan beberapa data penelitianku. Tak ingin membuatnya merajuk dan menambah kacau konsentrasiku, akhirnya kuputuskan untuk segera meninggalkan masalahku.
“Ma, mengapa orang sering diminta untuk memilih,” ujarnya memulai obrolan sembari menggeser tubuhnya merapat ke tubuhku. “Maksud Kakak seperti apa? Mama kurang paham,“tukasku dengan kening berlipat.
Anakku terdiam beberapa jenak mencari contoh masalah. Suasana hening yang tercipta membuatku kembali mencoba memikirkan permasalahan yang kuhadapi. Tiba-tiba dia mengagetkanku dengan cubitan kecil di lengan kiriku.
“Contohnya begini Ma…., ada seorang ibu di saat hendak melahirkan diminta oleh dokter untuk memilih siapa yang akan diselamatkan – bayi atau dirinya sendiri.”
Saya berpura-pura berpikir dengan menatap langit-langit kamar. “Sang ibu harus memilih karena dokter hanya bisa menyelamatkan salah satu diantara mereka dan tidak bisa keduanya.”
“Berarti bila salah memilih, bahaya ya Ma?” jawabnya dengan suara tegas. “Begitulah Nak, sebelum memilih kita harus punya pengetahuan tentang pilihan tersebut.”
“Wah…., sekarang Kakak tahu mengapa Mama selalu bilang sembarang bila Kakak tetap tak patuhi nasihat Mama.”
“Apa alasannya, uh…sok tahu,”kataku dengan nada mengolok-olok. Dia pun membalas olokanku dengan mulut mencibir, “Pastinya Mama ingin Kakak bisa memilih dan tahu apa akibat dari pilihan itu. Iya kan?”
Saya tersenyum bangga dengan jawaban jitunya. Anakku pun melanjutkan obrolan malam menjelang tidur dengan menceritakan pengalamannya terjatuh dari sepeda karena tak mematuhi nasihatku agar tidak balapan sepeda dengan beberapa temannya.
“Sudah ya Nak, sekarang tidur! Kelak bila Kakak dewasa akan lebih paham akan arti pilihan hidup,” pintaku untuk menghentikan perbincangan kami yang penuh makna. Anak lelakiku terdiam sejenak, kemudian mencoba menutup mata. Namun, saat saya ingin melanjutkan membaca beberapa artikel, dia bangun dan mengambil mainan ‘angry birds’ dengan berbagai karakter. Imajinasi cerita di benaknya pun mulai dimainkan dengan menggunakan karakter ‘angry birds’ yang ada.
Entah masa depan seperti apa yang akan dimiliki anak-anakku kelak. Mereka tumbuh dengan perkembangan sikap dan tingkah laku yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Pengalaman demi pengalaman pun membuat mereka mulai berpikir tentang sisi kehidupan walau masih dibatasi dengan kemampuan nalar. Proses ini kuharap berjalan dengan natural dan membuat mereka lebih bijak dalam menyikapi hidup dengan segala pilihan yang ada. Tak seperti di kekinian, acap pilihan tak dilandasi dengan nalar dan iman. Pilihan hanya berlandaskan nafsu dan keserakahan. Dunia menjadi segalanya dengan melupakan hari pembalasan. Astagfirullah!
(Jogja, 20 Mei 2013)

No comments:

Post a Comment