Wednesday, April 22, 2015

Bahagia Sempurna

Setiap kali memandang kereta berjalan, aku selalu teringat kita pernah bersama dalam satu gerbong - duduk berdekatan. Selama perjalanan, kau isi dengan cerita nostalgia. Aku tak begitu menyimak ceritamu dikarenakan keasyikanku menatap wajahmu yang teduh. Wajah yang belasan tahun lalu kerap menemani hari-hariku. Wajah yang selalu mengingatkan bahwa kerja keras dengan penuh kesungguhan akan menghasilkan buah yang nikmat. Wajah yang banyak mengajarkanku banyak hal. Wajah yang ingin kumiliki, namun tak mampu kuusahakan. Banyak hal yang membuatku tak mewujudkan mimpi sebagai pendampingmu. Terutama, aku tak ingin melihatmu tak 'sempurna' dikarenakan sikapku yang sangat labil saat itu.

Dalam kedekatan kali ini, aku merasa bahagia saat menatap wajahmu yang  penuh makna dan sarat akan cahaya. Cahaya yang terpancar karena kehidupan penuh suka cita. Aku sungguh bahagia. Keputusanku tuk tak memilikimu tak kusesali.... Aku bukanlah bidadarimu. Dan, kau tak akan sebahagia ini bila bersamaku.

Tatapanku masih lekat pada wajah sederhana nan memikat. Senti demi senti kucermati wajahmu tanpa kedip seolah tak ingin ada info yang terbaca yang kulewati hingga pandangan kita bertemu. Terpergok mencuri pandang olehmu membuatku tersipu malu dan menunduk dalam sembari memainkan jemari mungilku.

"Kok...kamu terlihat sangat kurus dibandingkan saat kita bertemu beberapa tahun silam?"

Aku terperanjat. Rasanya saat bercermin sore tadi, aku telah meyakinkan diriku bahwa baju yang membalut tubuhku mampu menyembunyikan bobot yang sebenarnya. Namun, kenyataannya dirimu mampu melihat perubahan fisikku.

"Kamu sakit ya?" - tanyamu lagi tanpa menunggu jawabanku untuk pertanyaan sebelumnya.

Aku menggangguk tertunduk.

"Sudahlah.... Tak perlu dibahas!!!"

Lama terdiam. Sunyi. Tak ada jawaban tanda setuju atau penolakan atas permintaanku. Beberapa kali kudengar helaan nafas dengan tarikan yang sungguh dalam. Dan, aku tak dapat menafsirkannya.

Berlama dalam suasana kaku, tiba-tiba ada rasa tak nyaman menyeruak dan memeluk erat. Aku gelisah. Keringat dinginku mengucur deras dalam kondisi gerbong ber-AC. Melalui ekor mataku terlihat dirimu menyibukkan diri bermesraan dengan handphone tanpa memedulikan diriku.

Beberapa jenak kemudian, kualihkan perhatian dengan melempar pandangan ke luar jendela kereta. Sederet kebun jati terhampar tak lagi indah. Tak lagi dapat menginspirasi diriku seperti sebelumnya. Aku sungguh gelisah mencari cara tuk menetralisir kondisi kaku yang tercipta tanpa sengaja. Dan tanpa kusadari mata terpejam menghalau gelisah. Saat nyenyak hendak menghampiriku, suara tanda pesan singkat masuk di hanphoneku dan mengejutkanku. Secepat kilat kurogoh saku celana dan membaca pesat singkat yang tak lain berasal darimu. 

"Sejak lama kuingin haturkan rasa suka ini dengan bahasa sederhana sesederhana dirimu. Namun, aku tak mampu merusak bahagiamu bersamanya. Maafkan bila ini tak berkenan."

Tenggorokanku tercekat. Pesan itu begitu jelas menggambarkan lukamu. Luka dikarenakan aku yang saat itu tak meneruskan mimpi bersamamu dan memilih 'memamerkan' bahagia bersama orang lain. Terlalu banyak alasan yang tak perlu kupaparkan padamu tentang semua ini. Aku memilih tetap melihat 'kesempurnaanmu' tanpa perlu merusaknya dengan cara memilikimu.

Saat tanganku menyentuh lenganmu dengan hati-hati, kudengar lirih suaramu penuh rasa duka.

"Mengapa tak memilihku?"

Aku memilih diam dua tiga jenak tak menjawab tanya hingga matamu menatap tajam meminta jawab. 

"Aku terlalu menyayangimu. Kurasa kau pun tahu sikapku yang suka mengatur dirimu menjadi seperti yang kuinginkan. Dan, saat aku menyadari hal tersebut aku memilih melupakan keinginanku tuk memilikimu. Aku ingin melihatmu bahagia."

Aku menunduk dalam saat menjawab tanya, tak kuasa menatap mata yang dulu sangat ingin kumiliki.  Air duka tanpa kupinta merambah pipiku yang tak mulus. Segera kuhapus sebelum terlihat olehmu. Kutak ingin kau melihatku sedih. Kuingin kau tahu aku menyayangimu dengan sungguh dan memilih cara ini tuk tetap melihat cahaya bahagia terpancar di wajah sederhanamu yang selalu memikatku.

Beberapa jenak kemudian tanpa kuduga, kau meraih tanganku dan menggenggam erat. Hangat terasa menjalar di sekujur tubuhku. Genggamanmu semakin erat seolah kau ingin menolak nyata rasa yang sama tak menyatukan kita. 

Sekonyong-konyong, aku menarik kasar tanganku membebaskannya dari rasa nikmat yang dulu ingin kurengkuh bersamamu.

"Mengapa? Apa tak kau rasakan bahagia seperti yang kurasakan?"

Aku menatap tajam tepat di inti matanya - "Aku memilih bahagia yang sempurna.  Bahagia tanpa menyakiti kesempurnaan."

Kulihat senyummu merekah tulus sama seperti dulu kau lakukan sebagai tanda persetujuan.

Senyumku pun tak malu lagi tampil. Aku mengumbarnya berlebihan. Ada bahagia melimpah terasa nyata. Hingga suara bising kereta bak irama indah yang turut mengiringi syair bahagia sempurna yang tercipta. Bahagia inilah yang selalu menjadi mimpiku - bahagia di atas bahagia.

Saturday, April 4, 2015

Happy milad Rafif

Walau bukan untuk yang pertama kalinya, badanku tetap bergetar saat memasuki ruang operasi. Suasana begitu mencekam saat tubuh terbaring di meja operasi. Saat mata kualihkan ke samping, terlihat alat-alat dalam kondisi steril siap mengoyak-oyak perutku. Duh, rasa takut begitu menyelimuti pikiranku. Bayangan masa lalu begitu menghantui. 

"Jangan cemas, takut, bahkan stress... Yang santai ya, Bu! Tarik nafas perlahan dan bebaskan pikiran Ibu dari rasa takut."

Tim medis berusaha menenangkanku karena tekanan darahku tak kunjung turun. Obat hipertensi kuminum, dan mata kupejamkan sembari berzikir dan menyerahkan  semuanya kepada Ilahi. 

Setengah jam kemudian, kulihat persiapan operasi dimulai. Saat anestisi akan dilakukan, kupegang tangan dokter yang akan mengoperasiku dan berkata, "Dok, bila anakku lahir, tolong beritahukan kondisinya dan dekatkan wajahnya untuk memudahkanku menciumnya." Anggukan dokter berbarengan dengan jarum suntik menusuk punggungku. Sedetik kemudian, berjuta gigitan semut menjalar dari perut hingga ujung jemari kaki dan membuatku kebal tak merasakan koyakan pisau dan gunting bedah.

Zikir terus kulafazkan selama operasi berjalan, dan aku tersentak saat suara tangis meledak.  Bayi mungil laki-laki berparas tampan di gendongan dokter membuatku sangat terharu. Kucium pipi dan hidung mungilnya. Kuamati bagian tubuhnya dengan teliti dan saat kuraba kepalanya, dokter melihatku dengan wajah teduh - "Sempurna dan sehat, Bu."

Alhamdulillah, 12 tahun kehadirannya telah membuatku banyak belajar bersikap menjadi seorang ibu, sahabat dan terkadang sebagai 'musuh' bagi dirinya. Perubahan psikologisnya begitu pesat terlihat pada akhir-akhir ini. Sikap marah dan protes begitu mudah dilontarkannya padaku. Dan, hal itu sering membuatku syok. Zaman telah berubah. Anak di zaman kekinian tak lagi sama dengan di zamanku. Semua serba terbuka dan standar kesopanan pun berubah. Perubahan itu harus kuterima dan melihatnya dari kaca mata positif.

Kini, anakku telah remaja, dia begitu terbuka mengemukakan apa yang dirasakan dan yang diinginkannya. Walau, kerap tangisku mengiringi sikap 'vulgar' tersebut, tapi jauh di lubuk hati selalu mendoakannya kelak menjadi anak yang berprinsip, tangguh dan shaleh. Toh, kekuatan doa tak ada yang dapat memungkirinya. Dengan ikhtiar dan doa meminta bantuanNya tak akan ada yang mustahil.

("Nak...mama tetap berdoa moga cita-citamu menjadi imam mesjid kan terwujud, walau saat ini usahamu menuju ke arah tersebut tak terlihat.")

Met milad sayang, We luv u.

Saturday, February 21, 2015

Ratap Rindu

Pagi belum beranjak terganti siang.
Rindu pada kekasih dan buah hati tak terbendung lagi. Handphone kuraih dan menekan nomer kontak yang sangat kuhapal. Tut...tut...tut... Hanya suara itu saja yang terdengar hingga tergantikan suara operator dengan sangat santun mengucap terima kasih. "Ah... kemanakah kalian semua?" - kuhempaskan tubuh di kasur tipis jauh dari empuk sembari meratap tertahan. Bulir-bulir rindu berjatuhan. Aku begitu ingin mendengar 'suara-suara' pelita hidupku....bahkan terlalu menginginkannya. Ratap masih berlangsung hingga sadar menghampiriku. Sadar yang membawaku menjelajahi arti kebersamaan, perpisahan dan rindu. Dan diantara kata-kata tersebut ada perekat yang bernama kasih atau cinta. Bila tak ada kasih atau cinta dalam kebersamaan maka pada perpisahan tak kan ada  rindu yang tercipta. Rindu adalah luapan kasih atau cinta yang tak tersalurkan. Sampai pada sadar yang mendasar, aku pun bersimpuh dan melapaz: "astagfirullah."

Aku belum merasakan 'ratap rindu' padaNya. Apakah itu artinya kebersamaanku padaNya belum berlandaskan kasih atau cinta? Kebersamaan yang hanya dapat dikategorikan 'basa-basi'? Hanya melaksanakan  'wajib lapor' lima waktu?

Pada saat bersamaNya, aku tak memiliki waktu yang panjang  untuk 'bermanjaan' atau pun 'curhat'.  Waktu yang kuberikan untukNya sangat sedikiiitttt sekali bila dibandingkan berselancar bersama dengan para iblis buatan manusia. Aku benar-benar nista. Kenistaan seorang hamba yang begitu lalai dalam 'menjalin kebersamaan' dengan Penciptanya yang Maha Rahman dan Rahim.

Simpuhku dalam doa dengan penuh harap 'terjawabkan' :
"Ya Rabb, ampuni hambaMu ini. Berikan aku kesempatan untuk dapat menikmati 'ratap rindu' padaMu, sebelum roh yang Engkau titip padaku, Engkau ambil kembali....Berikan aku rasakan cintaMu dengan suka cita yang sangat mendalam ......suka cita akan rindu yang berbalas......aamiin."

(Jogja, 22 Februari 2015)

Wednesday, February 18, 2015

Harmonisasi

Dini hari jauh sebelum waktu subuh, kutelisik wajah di hadapanku yang sedang terlelap dibuai mimpi – senti demi senti seolah ingin menyelidik. Kutemukan guratan halus di bawah mata dalam gelapnya malam. Guratan ketulusan. Guratan yang selalu siaga menyinar semangat bak ‘power bank’ yang selalu siap mengalirkan daya bila sumber energi melemah.

Perlahan kusentuh wajah lelaki yang telah kupilih menjadi imamku empat belas tahun yang lalu. Rasa hangat menjalar liar merasuk jiwa. Tanpa bermaksud memutus mimpi, kubaringkan tubuh dengan suara berbisik. Namun saat ingin mendekap kehangatan, teriakan anak perempuanku terdengar dari kamar sebelah membuyarkan romantisme yang mulai kubangun.

Tergesa bangkit dari pembaringan dan melangkahkan kaki tanpa memedulikan suami yang terbangun karena kegaduhan yang kubuat. Anak perempuanku terduduk menangis tanpa henti memanggil dan mencariku. “Mama… Mama… Mama… di mana?” Segera kupeluk tubuh mungilnya dan mengusap rambut, menenangkannya. Setelah tangis terhenti saya pun mulai meninabobokannya dengan melafazkan beberapa surah pendek Al-quran sambil menggaruk punggungnya. Hanya butuh waktu beberapa menit anakku pun terlelap. Dan kini hanya saya seorang diri menikmati malam tanpa kantuk.

Dalam kesendirian, tanpa sengaja kubuka ikon album foto di telepon genggamku. Kucermati satu persatu foto yang ada. Tiba-tiba ... saya termangu saat melihat fotoku yang bersanding dengan suami. Masih lekat dalam ingatan foto itu diambil saat adik bungsuku menikah. Dan pada saat itu juga saya sedang hamil anak pertama. Foto itu pun membawaku kepada kenangan belasan tahun silam. Kenangan di mana cinta dan perhatianku masih terfokus pada kekasih dan calon bayiku. Cinta yang begitu mendalam dan belum terbagi.

Namun saat ini, cinta dan perhatianku harus terbagi menjadi beberapa bagian: anak, suami, keluarga dan pekerjaan. Terkadang kalut kurasa di saat dihadapkan pada prioritas. Semua bagian kerap meminta cinta dan perhatian di waktu yang bersamaan dengan kadar yang hampir sama pula. Protes pun acap kulontarkan pada diri sendiri bila tak dapat lagi berbuat bijak. “Apakah saya tidak punya hak untuk mendapatkan cinta dan perhatian yang sama untuk diriku sendiri?” Lagi-lagi egoisme menyerang dan merusak nilai pengabdianku. Pengabdian seorang wanita dalam mencari makna dan keberkahan hidup.

Seperti halnya semalam, dan malam-malam sebelumnya, kuingin berbagi cinta dan kasih dengan adil kepada suami, anak-anak, dan pekerjaan. Namun saya selalu tidak dapat melakukannya dan prioritasku selalu jatuh pada anak-anak dan pekerjaan. Walau demikian, bukan berarti membahagiakan suami tidaklah penting. Saling memahami, itulah solusi yang kerap kami bahas dalam menjaga harmonisasi dan kelanggengan cinta.

Hanya satu yang membuatku selamat, imamku sangat penuh pengertian. Dia tak banyak menuntut. Dia seakan tahu akan posisiku yang terjepit. Hanya saja, ada ragu menyelip di sela hatiku yang terancam sobek. Saya takut kehilangan rasa. Sangat takut kehilangan cinta. Sungguh ... saya takut. Saya tak mampu membayangkan ketegaran yang kumiliki tanpa suamiku berdiri di sisiku sebagai tiang. Dan di tiang itulah, saya dan anak-anak bergantung. Hal yang tak bisa kupungkiri!

(Jogja, 18 Februari 2013)

Tuesday, February 17, 2015

Hikmah Percakapan

Anak perempuanku mengajukan protes saat saya selesai membaca dongeng pengantar tidur dua edisi terakhir kisahku. “Mama, ceritanya kok cinta terus, sih. Iiiih … Mama pacaran terus dengan Ayah.” Sungguh polos dan lugu. Saya membelai rambut dan membalikkan badannya untuk memulai ritual menggaruk punggungnya. “Besok, Mama berkisah tentangmu,” hiburku. Eh … tidak kusangka anak lelaki yang kuduga telah terlelap memelukku dari belakang dan berkata, ”Mama akan selalu bersama Ayah, kan? Pun Kutukas dengan memandang wajah suci itu dengan lembut, ”Tentu Sayang. Kami akan selalu bersama merawat dan mendidik kalian, Insya Allah.”

Sembari memeluk kedua buah hatiku yang terlelap nyenyak, saya berusaha memetik makna pelajaran kehidupan yang kuperoleh melalui percakapan singkatku dengan anak-anak. Pelajaran yang tidak boleh kuanggap sepele. Pelajaran yang sangat membantuku dalam berproses menjadi seorang ibu, istri, dan sahabat. Dan…..saya pun sungguh takut bila tidak dapat mengambil hikmah, yang kuyakini merupakan tuntunan Ilahi.

Dalam perenungan, kusadari anak-anak mulai beranjak dewasa, tidak seperti yang kuduga. Mereka sudah mulai mereka-reka arti sebuah hubungan antara wanita dan laki-laki dewasa dengan konteks ‘pacaran’. Hubungan yang mereka resapi dari pengamatan sehari-hari atas romantisme yang terjadi antara ayah dan ibunya. Dan saya sebagai seorang ibu sangat merasa diuntungkan atas persepsi seperti itu. Penggambaran ‘pacaran’ yang terekam dalam otak mereka harus kupertahankan. Setidaknya untuk lebih memudahkan bagi kami sebagai orangtua dalam membendung pengaruh negatif lingkungan dan media massa yang mengumbar pacaran begitu vulgar.

Memang tidaklah mudah bagi orangtua untuk menjelaskan ‘sex education’ pada anak-anak terlebih di usia kanak. Penjelasan secara teoritis tidak akan membuat mereka paham. Penjelasan secara vulgar akan membuat otak mereka merekam sisi negatif. Dan untuk anak-anakku, saya memutuskan untuk menjelaskan hal tersebut dengan pemberian contoh harmonisasi hubunganku dan ayah mereka – suatu contoh harmonisasi hubungan yang berlandaskan pada cinta dan keimanan.

Masih kuteruskan renungan walau kantuk mulai menggodaku. Saya terusik dengan pertanyaan anak lelakiku yang seolah meragukan kelanggengan kebersamaanku dan ayahnya. Tentu tidak akan ada pertanyaan bernada khawatir seperti itu bila tidak ada fakta yang menjadi pengalamannya. Tak kupungkiri, di saat lelah mendera atau di saat egois mendominasi, saya sering labil. Dan di saat seperti itulah anak-anak kusajikan tayangan ketidakharmonisan suatu hubungan. Tayangan yang terekam di otak anakku itulah yang merangsang kekhawatiran.

Penyesalan memang selalu di akhir. Namun perbaikan selalu berproses. Tidak ada kata terlambat untuk menyadari dan memperbaiki suatu kesalahan. Pun, saya mulai paham akan hikmah dari percakapan. Hikmah yang mengantarku untuk berusaha mengaransemen kembali lagu harmonisasi hubungan dan keseimbangan emosi dalam keluarga kecilku. Dan aku bertekad mulai belajar memahami suami dan anak-anak, karena dengan cara itulah Ilahi menuntunku menghasilkan lagu terindah yang akan menemani kebahagiaan kami.

Amboi … betapa indahnya hikmah yang kudapat. Dengkuran halus kedua anakku pun seolah mengiyakan hasil kontemplasiku. Dengkuran terindah yang pernah kudengar. Dan tanpa terasa, saya mendengkur pula di dada suami.

(Jogja, 19 Februari 2013)

Sahabat

Suatu malam yang 'riuh' berirama dengkur orang-orang terkasih, aku 'terlilit' sepi. Ada yang terasa kurang di dalam hidupku. Hal ini membuatku gelisah mencari jawab. Aku punya keluarga, punya pekerjaan, hidup pun tidak sengsara. Apa lagi yang tak kumiliki hingga hidupku sering 'kesepian'?

Jawaban kucoba cari dengan berdiskusi dengan guru menulisku melalui obrolan di media sosial. Tanpa kuduga dengan waktu yang singkat, dia bisa menyimpulkan bahwa aku tak punya teman dengan kategori sahabat.

"Kalau kamu tak pernah percaya dengan persahabatan, maka bersiaplah hidup  sunyi di hari tuamu."

Aku tercengang mendapat jawaban seperti itu. Kupikir-kupikir dengan cermat, apa iya aku tak punya sahabat?  Temanku banyak, ....tapi..... rasanya aku tak punya seorang 'sahabat'. Loh, sahabat itu apa sih?

"Sahabat itu adalah orang yang memahami 'jiwa' mu, mampu mengisi 'kekuranganmu' dan dia ibarat pakaian, mampu melindungimu dari 'panas' dan 'dingin'."

"Suami adalah sahabatku," jawabku dengan pasti untuk memungkiri dugaannya.

"Memang benar pasangan kita adalah sahabat sejati, namun kamu membutuhkan sahabat di luar lingkup keluarga."

Kini, dalam kesendirian aku mengenang semuanya. Dan, sepi masih kurasa. Sepertinya aku harus mulai mencari sahabat. Tetapi, apakah di kekinian masih ada yang namanya 'sahabat'? Yang kutahu di kekinian sahabat dalam arti 'kepentingan'. Bukan seperti yang kau katakan guru. Bukan sahabat seperti yang kau miliki hingga akhir hayatmu.

Duh, sepi membuatku berkhayal hidup dengan banyak sahabat dalam arti sesungguhnya. Bukan seperti sahabat si A yang sangat menjijikkan, memakan sahabat sendiri demi 'kepentingan'.  Sahabat yang akan menuai akibat dari perbuatannya sendiri. (Duh, kok melenceng nih cerita...ups sorry).

Apapun yang kuperoleh hari ini tak pernah bosan kuberharap : "Semoga suatu hari sang sahabat menghampiri dan mampu mengisi kekekuranganku dengan ikhlas hingga hidup terasa 'riuh', aamiin."


#merindu#

(Jogja, 6 Februari 2015)

Olshop bakulan

Awalnya dari iseng akhirnya menjadi serius, dari tidak tahu apa-apa menjadi tahu sedikit tentang bisnis online. Banyak teman dumay (dunia maya) yang dengan senang hati berbagi ilmu bahkan ada yang mengirimi ebook ke emailku. Mereka begitu 'membuka tangan' menerimaku sebagai 'murid' dan 'partner'. Aku menikmati rencana Allah ini. Kujalani hingga berganti rencanaNya yang lain untukku.

Banyak hal yang kuperoleh dari secuil pengalaman ini. Dan satu, dua diantaranya adalah bertemu partner yang masih sangat muda dan calon pembeli 'rewel' (ups maaafff). Awalnya, aku menyangsikan partner berusia muda ini 'the owner'  big olshop. Ternyata usia tak menjamin kemampuan seseorang. Adik  berparas cantik ini ternyata sangat piawai berbisnis. Dan, hubungan kerja kami sangat mengasyikkan. Bagaimana tidak, kami sama-sama mau menerima kritik dan saran dari satu sama lain. Perbedaan usia yang jauh biasanya membuat 'si tua' merasa lebih jago dari 'si muda' karena 'pengalaman hidup'. Namun, itu tak terjadi pada kami. Aku tak pernah segan belajar dari 'adik' tentang sesuatu yang tak kupaham, begitu pula sebaliknya. Kami saling memahami sampai sejauh ini. Alhamdulillah.

Hal lain yang menjadi pengalamanku dalam waktu yang singkat ini adalah bisnis online bisa berlangsung bila saling percaya. Tetapi, kepercayan tak bisa dipaksakan. Seperti yang kualami tadi siang. Seorang calon pembeli meminta kepadaku untuk mengirimkannya beberapa gambar produk yang kujual. Dan, singkat cerita dia membeli beberapa produkku. Yang paling menakjubkan bagiku, dia mengirimkanku pesan yang berbunyi :

"Mbak, aku baru transfer kalau sudah lihat semua barang yang kuinginkan difoto dalam satu gambar."

Inti pesan itu, calon pembeli tak percaya pada si penjual. Dia mungkin berfikir, aku menjual barang fiktif saja yaitu foto produk. Atau bisa jadi dia berfikir di zaman serba instan ini sangatlah langka orang yang memegang amanah. Apa pun itu, aku tak kuasa memaksanya untuk percaya begitu saja padaku selain mengerjakan apa yang dia inginkan.

Yah....dengan menikmati rencana Ilahi banyak pengalaman yang kudapat. Pengalaman yang mengajarkan padaku untuk pandai 'menempatkan' diri dengan selalu berpedoman pada ajaranNya. Toh, tak ada manusia yang sempurna termasuk diriku, jadi tak perlu risau bila berhadapan dengan banyak karakter yang tak sesuai. Yakinlah, 'tangan' Ilahi akan menuntun kita menuju rencanaNya yang lebih baik daripada rencana manusia.


#ceritapengalamanbakulan


(Jogja, 7 Februari 2015)