Monday, September 29, 2014

Kesedihan yang mendalam

"Mama..., adakah papa telah berubah?"

Sentuhan tangan mungil di pipiku yang basah menyentakku sadar.

"Tidak, Sayang. Papa tidak akan berubah sampai kapan pun padamu, Nak.....Dia akan selalu sayang padamu."

"Tapi mengapa papa tidak datang lagi mengajakku bermain setiap akhir pekan?"

Aku terdiam. Terlalu banyak perubahan yang terjadi pada papa anakku dalam waktu yang sangat singkat dan tak kumengerti apa penyebabnya.

"Sudahlah, Nak. Jangan sedih ya... doakan papa agar selalu sehat dan dirahmati Allah."

Bungsuku memeluk erat tubuhku yang makin hari semakin ramping.  Dia menumpahkan kesedihan dan rasa kecewa dalam tangis yang tak bersuara. Rasa hangat menjalar di dadaku. Air kesedihan tumpah tak terbendung menembus kausku yang lusuh.

"Sudah jangan menangis lagi, Nak. Mama janji akan selalu ada untukmu. Kebahagiaan akan mama upayakan untukmu.... rasa sedih akan hilang seiring waktu dan berganti bahagia."

Hanya kalimat itu yang mampu terucap untuk menghibur buah hatiku. Toh, aku tak ingin menjanjikan pada anakku papanya akan datang setiap akhir pekan. Janji yang tak mungkin dapat kupenuhi dikarenakan papanya telah mempunyai kehidupan baru. Kehidupan yang membuatnya memutuskan silaturahim padaku dan anak-anak. Kehidupan yang membuatnya berubah dan lupa pada kebahagiaan anak-anaknya sendiri. Namun, apapun perubahan itu,  aku akan selalu mendoakannya dan tak henti meyakinkan anakku untuk tak membenci papanya yang saat ini sedang lupa dan dalam kegelapan.

"Papamu akan selalu hadir karena kasihmu begitu besar padanya, Nak......"

Friday, September 19, 2014

Keraguan

Kutatap dari kejauhan wajah murung anak lelaki belasan tahun yang sedang duduk di bangku kayu yang tak lagi baru. Dalam hati kubertanya-"Apakah yang dia pikirkan? atau adakah seseorang yang menyakiti perasaannya?" Beberapa menit kemudian, kuhampiri anak lelaki tersebut karena aku ingin mengetahui penyebab kemurungannya.

"Ada apa, Nak?"

Anak lelaki tersebut menatapku dengan tatapan sendu dan kemudian menggeleng lemah. Rupanya dia tak mau berbagi cerita denganku. Aku paham. Elusan di punggung tambunnya kulakukan pertanda aku memaklumi keputusannya untuk tak bercerita.

"Tidak mengapa bila dirimu tak mau berbagi dengan orang lain, Nak....(jeda) Berbagilah dengan Allah. Percayakan masalahmu padaNya."

Hanya anggukan sebagai tanda setuju yang kulihat. Dan, selebihnya dia termenung. Aku meraih tangan yang sedari tadi menopang dagunya dan mengelusnya dengan lembut.

"Sudahlah, Nak... berhentilah bersedih...."

Sejenak kemudian terdengar hembusan nafas yang cukup berat darinya. Tatapan lurusnya beralih menatap lantai yang dipijak.

"Aku tak sedang bersedih. Aku hanya sedang bingung..... bingung akan definisi sayang atau cinta ayah kepada mama dan kami (anak-anaknya)."

Astagfirullah.... anak lelaki ini ternyata sedang mencari kebenaran akan apa yang dia rasakan saat ini - keraguan akan kasih ayahnya kepada keluarga. Aku hanya bisa memeluknya, mencoba merasakan kebingungannya.

"Oh Tuhan, jangan Kau timpakan kesedihan pada anak yang tak berdosa ini dikarenakan kesalahan orangtuanya." Doa kuucapkan dengan khusu' dan mata terpejam sembari tetap memeluknya. Aku tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong anak tersebut dari kebingungan kecuali dengan doa. Toh, kuyakin Allah tak pernah tidur dan tak akan pernah salah dalam menuliskan takdir hambaNya. Dan aku pun yakin semua masalah yang ada di hadapannya akan menjadikannya dewasa serta bijak.