Tuesday, February 17, 2015

Hikmah Percakapan

Anak perempuanku mengajukan protes saat saya selesai membaca dongeng pengantar tidur dua edisi terakhir kisahku. “Mama, ceritanya kok cinta terus, sih. Iiiih … Mama pacaran terus dengan Ayah.” Sungguh polos dan lugu. Saya membelai rambut dan membalikkan badannya untuk memulai ritual menggaruk punggungnya. “Besok, Mama berkisah tentangmu,” hiburku. Eh … tidak kusangka anak lelaki yang kuduga telah terlelap memelukku dari belakang dan berkata, ”Mama akan selalu bersama Ayah, kan? Pun Kutukas dengan memandang wajah suci itu dengan lembut, ”Tentu Sayang. Kami akan selalu bersama merawat dan mendidik kalian, Insya Allah.”

Sembari memeluk kedua buah hatiku yang terlelap nyenyak, saya berusaha memetik makna pelajaran kehidupan yang kuperoleh melalui percakapan singkatku dengan anak-anak. Pelajaran yang tidak boleh kuanggap sepele. Pelajaran yang sangat membantuku dalam berproses menjadi seorang ibu, istri, dan sahabat. Dan…..saya pun sungguh takut bila tidak dapat mengambil hikmah, yang kuyakini merupakan tuntunan Ilahi.

Dalam perenungan, kusadari anak-anak mulai beranjak dewasa, tidak seperti yang kuduga. Mereka sudah mulai mereka-reka arti sebuah hubungan antara wanita dan laki-laki dewasa dengan konteks ‘pacaran’. Hubungan yang mereka resapi dari pengamatan sehari-hari atas romantisme yang terjadi antara ayah dan ibunya. Dan saya sebagai seorang ibu sangat merasa diuntungkan atas persepsi seperti itu. Penggambaran ‘pacaran’ yang terekam dalam otak mereka harus kupertahankan. Setidaknya untuk lebih memudahkan bagi kami sebagai orangtua dalam membendung pengaruh negatif lingkungan dan media massa yang mengumbar pacaran begitu vulgar.

Memang tidaklah mudah bagi orangtua untuk menjelaskan ‘sex education’ pada anak-anak terlebih di usia kanak. Penjelasan secara teoritis tidak akan membuat mereka paham. Penjelasan secara vulgar akan membuat otak mereka merekam sisi negatif. Dan untuk anak-anakku, saya memutuskan untuk menjelaskan hal tersebut dengan pemberian contoh harmonisasi hubunganku dan ayah mereka – suatu contoh harmonisasi hubungan yang berlandaskan pada cinta dan keimanan.

Masih kuteruskan renungan walau kantuk mulai menggodaku. Saya terusik dengan pertanyaan anak lelakiku yang seolah meragukan kelanggengan kebersamaanku dan ayahnya. Tentu tidak akan ada pertanyaan bernada khawatir seperti itu bila tidak ada fakta yang menjadi pengalamannya. Tak kupungkiri, di saat lelah mendera atau di saat egois mendominasi, saya sering labil. Dan di saat seperti itulah anak-anak kusajikan tayangan ketidakharmonisan suatu hubungan. Tayangan yang terekam di otak anakku itulah yang merangsang kekhawatiran.

Penyesalan memang selalu di akhir. Namun perbaikan selalu berproses. Tidak ada kata terlambat untuk menyadari dan memperbaiki suatu kesalahan. Pun, saya mulai paham akan hikmah dari percakapan. Hikmah yang mengantarku untuk berusaha mengaransemen kembali lagu harmonisasi hubungan dan keseimbangan emosi dalam keluarga kecilku. Dan aku bertekad mulai belajar memahami suami dan anak-anak, karena dengan cara itulah Ilahi menuntunku menghasilkan lagu terindah yang akan menemani kebahagiaan kami.

Amboi … betapa indahnya hikmah yang kudapat. Dengkuran halus kedua anakku pun seolah mengiyakan hasil kontemplasiku. Dengkuran terindah yang pernah kudengar. Dan tanpa terasa, saya mendengkur pula di dada suami.

(Jogja, 19 Februari 2013)

No comments:

Post a Comment