Terlalu
berat memutuskan untuk pulang ke Mataram sebelum promosi doktor
kulewati. Namun, beragam pertimbangan mengharuskan saya memilih
meninggalkan Jogja. Salah satunya, bisa lebih fokus di dekat orangtua –
ayah dan ibuku yang selalu mengontrol, dan juga mendekatkan kembali
kedua anakku. Lagipula, saya berupaya sesekali ke Jogja jika ada yang
mesti saya diskusikan dengan promotor. Toh, saya diizinkan pula melakukan konsultasi lewat email.
Persiapan pulang kampung hampir rampung. Surat pindah anak lelakiku
sudah oke. Tersisa anak perempuanku. Makanya, sejak semalam saya
mengusulkan pada suami untuk ke sekolah putri mengurus surat pindah.
Sebelum matahari menanjak, kami telah bersiap dan kuajak pula putriku
yang mulanya tak ingin ke sekolah.
Sampai di sekolah, kupegang
tangan putriku menuju ruang guru. Sementara suamiku memarkir sepeda
motor dan segera menyusul. Salam kami ucapkan hampir serentak. Para guru
menoleh ke arah pintu. Senyum kulayangkan sembari menundukkan kepala
sebagai rasa hormatku pada mereka. "Maaf mengganggu, Pak, Bu. Putri saya
ingin pamit dan mengucapkan terima kasih," ujarku sambil berkeliling
menuntun putriku menyalami satu persatu gurunya.
"Besok bila kuliah di Yogya aja ya, Dik" – wali kelas putriku berpesan dan mencium kedua pipinya.
Putriku terlihat sedih menatap gurunya. Pasalnya, selama mengenyam
pendidikan di sekolah swasta bertaraf sekolah rakyat, dia sungguh sangat
akrab dengan mereka. Hampir tiap jelang dijemput ayahnya, dia ke ruang
guru bercengkerama tanpa sungkan. Begitulah sosok putriku yang 'sangat
gaul'. Semua murid dan guru mengenalinya sebagai anak yang ramah dan
cerdas.
"Rapor Adik sudah bisa diambil sekarang, Bu," ujar wali
kelas anakku memecah kesunyian yang sempat terjadi. Dua jenak kemudian,
ibu separuh baya itu pun menghampiri kami yang sedang duduk di ruang
tamu guru. Kulihat dia membawa dua bingkisan berbungkus kertas cokelat
dan sebuah map. Puteriku mendongak ke arahku seolah bertanya - "Apa itu,
Ma?"
Wajah anakku berseri riang saat menerima bingkisan dan tersenyum lebar menatap gurunya.
"Saya peringkat satu, ya Bu?"
"Iya Sayang. Tetap rajin belajar, ya!"
"Makasih banyak, Bu. Oh ya, Adik juga punya bingkisan,” ujarnya sembari meraih kotak kecil dari tangan ayahnya.
Singkat cerita, kami pun akhirnya meninggalkan sekolah. Dalam
perjalanan pulang tak henti anakku berceloteh tentang isi bingkisan. Dan
tak lama kemudian, dia memintaku mencubit pipinya. "Mama, ini bukan
mimpi. Alhamdulillah. Allah telah mengabulkan doaku," teriaknya dengan
menengadahkan kedua tangannya.
Setiba di rumah, dua bingkisan
dibuka kedua anakku tanpa perlu menunggu aba-abaku. Dan, terlihatlah
peralatan sekolah dan sepatu berwarna hitam. Putriku sungguh riang saat
mengenakan sepatu yang ukurannya agak besar. "Cukup kok, Ayah. Besar
sedikit tidak masalah," jawabnya saat ayahnya menyarankan untuk
memberikan sepatu tersebut pada anak tetangga. Kutahu itu dia lakukan
karena sangat menghargai apresiasi guru atas usahanya.
"Mama, Adik akan terus belajar dan salat. Jadi nanti Adik dapat peringkat satu lagi di sekolah dan di akhirat," ucapnya lugu.
Subhanallah! Kebahagiaan hari ini begitu sempurna dan saya pun tak
sabar menanti hari esok – hari di mana kami akan berkumpul bersama
orangtua dan saudaraku menikmati berkahnya bulan Ramadan – bulan di mana
tempatnya orang-orang mencari ridha Ilahi dan meraih peringkat satu
sebagai bekal di akhirat nanti.
(Jogja, 25 Juni 2013)