Tuesday, June 25, 2013

Juara Dunia Akhirat

Terlalu berat memutuskan untuk pulang ke Mataram sebelum promosi doktor kulewati. Namun, beragam pertimbangan mengharuskan saya memilih meninggalkan Jogja. Salah satunya, bisa lebih fokus di dekat orangtua – ayah dan ibuku yang selalu mengontrol, dan juga mendekatkan kembali kedua anakku. Lagipula, saya berupaya sesekali ke Jogja jika ada yang mesti saya diskusikan dengan promotor. Toh, saya diizinkan pula melakukan konsultasi lewat email.

Persiapan pulang kampung hampir rampung. Surat pindah anak lelakiku sudah oke. Tersisa anak perempuanku. Makanya, sejak semalam saya mengusulkan pada suami untuk ke sekolah putri mengurus surat pindah. Sebelum matahari menanjak, kami telah bersiap dan kuajak pula putriku yang mulanya tak ingin ke sekolah.

Sampai di sekolah, kupegang tangan putriku menuju ruang guru. Sementara suamiku memarkir sepeda motor dan segera menyusul. Salam kami ucapkan hampir serentak. Para guru menoleh ke arah pintu. Senyum kulayangkan sembari menundukkan kepala sebagai rasa hormatku pada mereka. "Maaf mengganggu, Pak, Bu. Putri saya ingin pamit dan mengucapkan terima kasih," ujarku sambil berkeliling menuntun putriku menyalami satu persatu gurunya.

"Besok bila kuliah di Yogya aja ya, Dik" – wali kelas putriku berpesan dan mencium kedua pipinya.

Putriku terlihat sedih menatap gurunya. Pasalnya, selama mengenyam pendidikan di sekolah swasta bertaraf sekolah rakyat, dia sungguh sangat akrab dengan mereka. Hampir tiap jelang dijemput ayahnya, dia ke ruang guru bercengkerama tanpa sungkan. Begitulah sosok putriku yang 'sangat gaul'. Semua murid dan guru mengenalinya sebagai anak yang ramah dan cerdas.

"Rapor Adik sudah bisa diambil sekarang, Bu," ujar wali kelas anakku memecah kesunyian yang sempat terjadi. Dua jenak kemudian, ibu separuh baya itu pun menghampiri kami yang sedang duduk di ruang tamu guru. Kulihat dia membawa dua bingkisan berbungkus kertas cokelat dan sebuah map. Puteriku mendongak ke arahku seolah bertanya - "Apa itu, Ma?"

Wajah anakku berseri riang saat menerima bingkisan dan tersenyum lebar menatap gurunya.

"Saya peringkat satu, ya Bu?"

"Iya Sayang. Tetap rajin belajar, ya!"

"Makasih banyak, Bu. Oh ya, Adik juga punya bingkisan,” ujarnya sembari meraih kotak kecil dari tangan ayahnya.

Singkat cerita, kami pun akhirnya meninggalkan sekolah. Dalam perjalanan pulang tak henti anakku berceloteh tentang isi bingkisan. Dan tak lama kemudian, dia memintaku mencubit pipinya. "Mama, ini bukan mimpi. Alhamdulillah. Allah telah mengabulkan doaku," teriaknya dengan menengadahkan kedua tangannya.

Setiba di rumah, dua bingkisan dibuka kedua anakku tanpa perlu menunggu aba-abaku. Dan, terlihatlah peralatan sekolah dan sepatu berwarna hitam. Putriku sungguh riang saat mengenakan sepatu yang ukurannya agak besar. "Cukup kok, Ayah. Besar sedikit tidak masalah," jawabnya saat ayahnya menyarankan untuk memberikan sepatu tersebut pada anak tetangga. Kutahu itu dia lakukan karena sangat menghargai apresiasi guru atas usahanya.

"Mama, Adik akan terus belajar dan salat. Jadi nanti Adik dapat peringkat satu lagi di sekolah dan di akhirat," ucapnya lugu.

Subhanallah! Kebahagiaan hari ini begitu sempurna dan saya pun tak sabar menanti hari esok – hari di mana kami akan berkumpul bersama orangtua dan saudaraku menikmati berkahnya bulan Ramadan – bulan di mana tempatnya orang-orang mencari ridha Ilahi dan meraih peringkat satu sebagai bekal di akhirat nanti.

(Jogja, 25 Juni 2013)