Friday, April 18, 2014

T o g a

Bbm android-ku berdering, kulihat pesan gambar dari sahabatku - wajah sumringah bertopi kebanggaan 'sang doktor'. Aku tersenyum bahagia, namun ada sedikit rasa sedih karena tak bisa mengenakannya dalam waktu yang sama.

Hari wisuda selalu ditunggu. Hari dimana bahagia, haru dan bangga bercampur menjadi satu. Hari itu pun pernah kunikmati dua kali. Pertama, saat wisuda bersama teman-teman geng H-43 pada tahun 1998 di University of Queensland-Australia. Suasana wisuda yang tidak penuh dengan ceremonial, namun sangat berkesan. Sepanjang hari kami mengitari kampus untuk berfose mengabadikan saat yang akan menjadi kenangan indah. Kedua, wisuda saat aku meraih gelar magister di Universitas Hasanuddin-Makassar pada tahun 2006. Rasa bahagia saat itu sungguh berbeda. Aku ke panggung untuk menerima ucapan selamat dari para guru besar dengan langkah perlahan dan hati-hati. Pasalnya, kandunganku sudah sangatlah besar dan berat. Saat berada di atas panggung, terdengar teriakan anak sulungku dari atas balkon:  " Mama...Mama..." Aku menoleh dan melambaikan tangan. Wajah ibu, suami dan anakku sungguh sangat bahagia. Anak di dalam kandunganku pun tak henti bergerak ikut serta merayakan hari 'kemenangan' kami. 

Hmmmmmmm, aku ingin merasakan kebahagiaan itu lagi. Kebahagiaan yang sangat berarti karena keluargaku telah lama menantikannya. 

Ya Rabb, mudahkan jalanku.....

(Jogja, 18 April 2014)


Thursday, April 17, 2014

T a n g i s

Tangis itu ada lagi
Berdesakan keluar
Mengalir deras tanpa henti
Tiap tetesan bermakna
Sedih, kecewa, dan.....sakit
Bagai benang kusut
Kucoba urai mencari sebab
Yang kudapat hanya lelah
Mungkin ini tenguranNya
Kealfaan bersyukur mencipta takabur
Ampun ya Rabb.....
Rinduku padaMu tak kurawat
DekapMu selalu kuharap ada untukku

(Jogja, 18 April 2014)

Wednesday, April 16, 2014

Pilihan

Waktu isya telah lama berlalu, anak lelakiku tak menampakkan tanda kantuk di wajahnya. Dia memaksaku untuk menemaninya berbincang. Resahku dibuat dengan tingkahnya. Betapa tidak pikiranku sedang kalut karena tak menemui solusi bagaimana meramu kata untuk menjelaskan beberapa data penelitianku. Tak ingin membuatnya merajuk dan menambah kacau konsentrasiku, akhirnya kuputuskan untuk segera meninggalkan masalahku.
“Ma, mengapa orang sering diminta untuk memilih,” ujarnya memulai obrolan sembari menggeser tubuhnya merapat ke tubuhku. “Maksud Kakak seperti apa? Mama kurang paham,“tukasku dengan kening berlipat.
Anakku terdiam beberapa jenak mencari contoh masalah. Suasana hening yang tercipta membuatku kembali mencoba memikirkan permasalahan yang kuhadapi. Tiba-tiba dia mengagetkanku dengan cubitan kecil di lengan kiriku.
“Contohnya begini Ma…., ada seorang ibu di saat hendak melahirkan diminta oleh dokter untuk memilih siapa yang akan diselamatkan – bayi atau dirinya sendiri.”
Saya berpura-pura berpikir dengan menatap langit-langit kamar. “Sang ibu harus memilih karena dokter hanya bisa menyelamatkan salah satu diantara mereka dan tidak bisa keduanya.”
“Berarti bila salah memilih, bahaya ya Ma?” jawabnya dengan suara tegas. “Begitulah Nak, sebelum memilih kita harus punya pengetahuan tentang pilihan tersebut.”
“Wah…., sekarang Kakak tahu mengapa Mama selalu bilang sembarang bila Kakak tetap tak patuhi nasihat Mama.”
“Apa alasannya, uh…sok tahu,”kataku dengan nada mengolok-olok. Dia pun membalas olokanku dengan mulut mencibir, “Pastinya Mama ingin Kakak bisa memilih dan tahu apa akibat dari pilihan itu. Iya kan?”
Saya tersenyum bangga dengan jawaban jitunya. Anakku pun melanjutkan obrolan malam menjelang tidur dengan menceritakan pengalamannya terjatuh dari sepeda karena tak mematuhi nasihatku agar tidak balapan sepeda dengan beberapa temannya.
“Sudah ya Nak, sekarang tidur! Kelak bila Kakak dewasa akan lebih paham akan arti pilihan hidup,” pintaku untuk menghentikan perbincangan kami yang penuh makna. Anak lelakiku terdiam sejenak, kemudian mencoba menutup mata. Namun, saat saya ingin melanjutkan membaca beberapa artikel, dia bangun dan mengambil mainan ‘angry birds’ dengan berbagai karakter. Imajinasi cerita di benaknya pun mulai dimainkan dengan menggunakan karakter ‘angry birds’ yang ada.
Entah masa depan seperti apa yang akan dimiliki anak-anakku kelak. Mereka tumbuh dengan perkembangan sikap dan tingkah laku yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Pengalaman demi pengalaman pun membuat mereka mulai berpikir tentang sisi kehidupan walau masih dibatasi dengan kemampuan nalar. Proses ini kuharap berjalan dengan natural dan membuat mereka lebih bijak dalam menyikapi hidup dengan segala pilihan yang ada. Tak seperti di kekinian, acap pilihan tak dilandasi dengan nalar dan iman. Pilihan hanya berlandaskan nafsu dan keserakahan. Dunia menjadi segalanya dengan melupakan hari pembalasan. Astagfirullah!
(Jogja, 20 Mei 2013)

Maha Guru 'Kehidupan'

Wajah anak perempuanku tak lagi sedih. Kekecewaan yang dirasakannya semalam pun tidak tampak. Setidaknya, rayuanku mengajak berenang dapat membuat dia lupa pada rindu yang tak terlampiaskan pada anak kakakku.

Semalam sepupunya yang berdomisili di Sidoarjo tiba di Yogyakarta bersama teman-teman sekolah. Dikarenakan kegiatan yang cukup padat, dia hanya bisa menemani anakku beberapa menit. Padahal, anakku telah membayangkan kebersamaan melakukan berbagai kegiatan yang menyenangkan. Penjelasan demi penjelasan mengenai kondisi sepupunya tak membuat anakku mengerti. Akhirnya, hanya tangis yang dapat membuatnya terlelap dan melupakan semuanya.

Dari sudut kolam renang pemula milik Universitas Negeri Yogyakarta, kulihat keceriaan “Dewi Penasihat”-ku berenang bersama beberapa orang dewasa. Sesekali dia berteriak memanggilku seolah ingin memamerkan keahliannya berenang dengan bantuan pelampung lengan. Tidak ada yang lebih indah dalam hidupku selain keceriaan dan kebahagiaan anak-anak. Pasalnya, semua itu dapat membuatku lupa akan kemungkinan beratnya perjuangan untuk masa depan mereka.

Kala usai berenang dan menikmati mi goreng buatanku, dia berujar, “Terima kasih ya, Ma, sudah mau mengajakku berenang.” Selanjutnya, ciuman bertubi-tubi pun mendarat di pipi kananku. Ada rasa haru terselip di hatiku melihat bahagianya begitu sederhana. Tak banyak tuntutan. Walau kutahu saat ini dia ingin ayah dan kakaknya pun dapat menemaninya berenang dan merasakan kebahagiaan bersama. Tapi dia mafhum dengan kegiatan sosial ayahnya, begitu pula dengan kegiatan rutin kakaknya di hari libur. Dan, kesediaanku menemaninya sudah cukup membahagiakannya.

Kepolosan seorang anak banyak mengajarkanku tentang makna hidup yang sesungguhnya. Namun, hingga kini belum banyak yang dapat kulakukan untuk membuat mereka selalu bahagia. Ambisiku membentuk anak-anak menjadi yang ‘terbaik’ kerap membuat mereka sedih. Temperamental, itulah kelemahanku dalam bersikap.

Pernah suatu hari, anak lelakiku menangis tersedu-sedu karena amarahku. Dia kuusir dari kamar karena tak mengindahkan aturanku. Berkali-kali dia memohon maaf padaku tak jua membuat hatiku luluh. Entah, saya selalu merasa dilecehkan anak sendiri bila aturan dan perkataanku tak dipatuhi. Hal itu membuatku merasa gagal menjadi seorang ibu, sehingga sebagai kompensasi dari rasa sedih dan kecewa pada diri sendiri pun kuluapkan pada anak-anak dalam bentuk marah.

Saya memang bukanlah ibu yang baik. Namun, anehnya anak-anak tidak pernah menilaiku seperti itu. Pun anak lelakiku pernah mengutarakan pendapatnya saat kupinta penilaiannya – ”Mama adalah ibu yang aneh, sejenak marah … sebentar lagi baik. Eeee... sudah itu kita ditraktir makan. Sepertinya Mama mengajarkan pada kami ‘bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.

Waduh, ternyata usia tak menjamin kedewasaan seseorang dalam berpikir dan bersikap. Saya sungguh malu dengan penilaian anakku. Namun, apapun itu tak bisa kupungkiri anak-anak adalah Maha Guru bagiku – guru yang banyak mengajarkanku untuk bisa lulus ujian kehidupan. Dan, juga sekaligus menjadi pendidikan buat anak-anakku dengan menjadikan diriku sebagai contoh.

(Jogja, 2 Juni 2013)

Chilla note-Arti Bahagia

Sampai hari ini aku dan kakak belum punya baju baru. Kami tak peduli. Tak pernah merengek pada mama dan ayah untuk dibelikan. Biasanya bila lebaran hampir tiba, kami akan diajak berbelanja baju. Namun, hingga hari ini tak ada tanda-tanda itu. Mama hanya bercerita padaku bahwa kebahagiaan di hari raya bukan pada baju baru. Tetapi berkumpul dengan keluarga dan saling berbagi. Di hari Idul Fitri tak boleh ada yang sedih. Semua kaum muslim harus bergembira. Untuk itulah kaum muslimin diwajibkan untuk berzakat dan bersedekah. Terbayang kegembiraan yang akan kurasa di hari fitri tersebut. Hadiah berupa uang, pelukan dan ciuman dari keluarga akan kudapat atas usahaku berpuasa sebulan penuh. Duh, mulai terpikir duitnya akan kubelikan berbagai macam makanan dan mainan. Kali ini , aku benar- benar mengerti bahwa kebahagiaan adalah 'sesuatu banget'.

(Ampenan, 23 Juli 2013)

Peran

"Kak, saya cuma terima dana SPP saja. Teman-teman lain sudah dapat SPP plus uang bulanan selama 4 bulan. Piye ki, Kak? Btw Kakak dapat berapa?"

Waduh..... isi sms teman studiku membuatku bingung. Kok bisa beda ya besaran dana yang diterima? Aku khawatir berbuat kesalahan karena akulah yang mengurus administrasinya. Dan, aku juga khawatir bernasib sama dengannya. Alamat harus mengurus kembali ke bagian keuangan kampusku esok hari.

Kekhawatiranku ternyata terbukti. Setelah cek saldo di ATM, tabunganku hanya bertambah  sebesar dana SPP saja.
Kucoba mencari kesalahan yang kira-kira telah kami perbuat hingga mempunyai nasib yang berbeda dengan teman lainnya.

Berbagai kemungkinan kuutarakan ke dua sahabatku yang kebetulan teman kerja yang sedang studi di tempat sama dan juga mendapatkan dana dengan besaran yang sama seperti teman lainnya. Tanggapan mereka sama yaitu menyarankanku mengurus ke bagian keuangan.

Duh, aku ingin di saat badanku kurang fit seperti ini dan terkena masalah, orang yang kucintai ada di sisiku 'tuk mensupportku. Dan, rasa kebergantungan pada suami pun muncul begitu besar.

"Aku tak bisa tanpa dia."

Suara hatiku menyentak kesadaranku akan kepongahan yang tercipta selama sendiri di lokasi studi. Sekecil apa pun perannya ternyata sangatlah berarti bagiku. Toh, dia adalah pasangan yang diberikan padaku oleh Ilahi untuk saling melengkapi tanpa menghitung seberapa besar peranan masing-masing.

(Jogja, 1 Januari 2014)

A y a h

"Bagaimana kondisimu, Nak?" - suara bernada khawatir ayahku tiba-tiba menggantikan rengekan anak sulungku di telepon.

"Baik, 'Yah. Aku sehat. Alhamdulillah " - suaraku terdengar riang mencerminkan kondisi yang tak perlu dikhawatirkan. Kutahu ayah pasti kalut setelah mendengar cerita kakak perempuanku tentang cedera punggungku.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Ayah lega dengar dirimu dalam kondisi sehat."

Duh.....ayah, begitu besar rasa sayang dan perhatianmu padaku walau tak lagi kanak. Maafkan aku ayah, sejak kanak hingga kini masih sering membuatmu khawatir. Aku sangat paham rasa itu adalah wujud cintamu yang begitu besar padaku.

Teringat belasan tahun silam, setelah beberapa bulan pasca menamatkan kuliah S1.  Aku tiba-tiba terserang gejala keracunan sesaat setelah tiba di rumah sehabis membelikan buah apel untuk ayah yang sedang terbaring sakit. Awalnya, muncul bentol-bentol di seluruh tubuh dan sangat gatal serta panas. Dalam sekejap kakak iparku mengambilkan segelas air kelapa dari penjual es di depan kios ibuku. Namun, itu tak membuat tubuhku membaik. Pandanganku seketika gelap. Aku pingsan. Tak berselang berapa lama kudengar samar-samar suara ayah di sampingku.

"Kasihani anakku....Ya Allah."

Berulangkali kalimat itu dia ucapkan dalam bahasa bugis. Aku sungguh terenyuh melihatnya sangat bersedih di kala tubuhnya pun dalam kondisi sakit. Ingin menenangkannya dengan menggenggam tangannya. Tapi, duh.....tangan, kaki dan badanku tak bisa kugerakkan. Tubuhku kaku dan berubah warna .....membiru. Seketika tangisku meledak.

" Ayah....aku kenapa ini? Bawa aku ke rumah sakit."

Ayah panik dan meminta ibu dan kakakku mencari bantuan ke tetangga.

Kenangan itu sungguh sangat membekas. Apalagi bila teringat kata dokter yang memeriksaku di IRD rumah sakit pemerintah di tempat tinggalku. "Bila telat 5 menit saja, kemungkinan nyawa Adik tidak tertolong."

Maafkan aku ayah. Kuharap tak ada lagi kekhawatiran yang kucipta, karena bahagiamu adalah surga bagiku.

(Jogja, 4 Januari 2014)

Status 'Lelaki'

Begitu banyak reaksi melalui inboxku mengenai statusku 'lelaki'. Ada yang simpati hingga berkomentar,"Sabar jeng, ikhlaskan semua cobaan ini." Ada pula yang bernada protes,"Tak semua lelaki seperti yang mbak gambarkan." Dan, ada juga komentar yang menyalahkanku,"Baik buruknya lelaki bergantung andil perempuan."

Aku menghela nafas panjang. Status itu kutulis spontan setelah terinspirasi 'cobaan' seorang perempuan yang begitu sempurna di mataku. Sempurna berperan sebagai istri, ibu, anak, dan sahabat. Status itu luapan emosiku, teriakan protesku akan 'upah' kesetiaan, pengabdiaan dan pengorbanan seorang perempuan pada 'lelaki'. Kuakui, ada rasa marah, benci, dan dendam. Kuakui, jiwaku sakit. Dan, kuakui ingin mengingkari nasib perempuan yang hanya bisa 'nrimo' sembari terus berdoa utk bisa selalu ikhlas.

Seiring waktu berjalan, kutersadar ini semua adalah 'materi kuliah kehidupan'. Ilahi memberi semua cobaan agar manusia mau mengevaluasi diri, memahami diri dan orang lain serta tak lupa bermunajat agar dilindungi dari nafsu dan keserakahan. Aku pun sadar untuk terus belajar menguak secuil misteri tentang 'lelaki dan perempuan'. Misteri yang akan mengajarkan padaku untuk lebih.bijak dalam menilai dan menempatkan 'lelaki' sebagai makhluk sempurna pasangan perempuan.

(Jogja, 15 Maret 2014)

Lelaki
Pengkhianatan hanya dimaknai khilaf dan takdir
Permohonan maaf hanyalah hiasan di bibir
Kebohongan demi kebohongan antri terencana
Hati yang terluka tak menyentuh lubuk
Yang ada hanya keegoisan
Yang tercermin hanya pemuasan nafsu
Tebersit tanya
Apa yang kau cari 'lelaki'?
Berbagai dalih menghalalkan yang haram
Berbagai cara mengusir bayangan dosa
Ingatlah ada hari pembalasan
Kembalilah ke 'rumah' lelaki
Di sanalah takdir baikmu
Takdir bahagia bersama keluarga kecilmu