Sunday, January 20, 2013

Musik Kehidupan


“Who Says” Selena Gomez menemani pagi kami. Anak perempuanku menari riang mengikuti gaya sang penyanyi. “I love this song mom,” ujarnya dengan senyum bahagia. Teringat kata temanku saat mengenalkan lagu tersebut: “Dengarkanlah, energi positif akan kamu rasakan dan membuatmu riang serta bersemangat lagi.”

Sangat kupaham, musik sangat memengaruhi kehidupan. Acapkali musik menginspirasi kita dalam bertindak dan tak jarang merupakan cerminan diri dari lirik yang ada. Rasa sedih, gembira, marah, bahkan perilaku negatif muncul dari alunan melodi.

Bermula dari musik pula, saya dan kedua anakku menciptakan pagi ibarat musik. Kegiatan membersihkan rumah, memasak, dan bermain kami lakukan sesuai dengan nada yang tercipta. Nada yang tersusun pada jalur birama dengan tempo yang tepat. Luar biasa… harmonisasi nada pun kami rasakan.

Tak dapat kupungkiri, kadang saya salah menyodorkan musik pada anak. Begitu pula tentang musik kehidupan yang kami lakoni sebagai keluarga kecil. Sebab, musik kehidupan yang selama ini kami ciptakan penuh dengan lirik yang tak dimengerti dengan nada yang tak nyaman didengar. Padahal, mestinya seorang ibu adalah pencipta musik kehidupan, dan dari dirinya akan terlahir irama kehidupan yang memengaruhi kecerdasan dan perilaku anak-anak.

Dari seorang ibu pula saya mengenal nada ‘tanggungjawab’. Tidak ada kata lelah baginya dalam melayani suami dan ketujuh anaknya, bahkan dalam memanjakan cucu-cucunya. Dari seorang ibu pula saya mengenal nada ‘hormat dan menghargai’ pasangan hidup. Seperti lirik “Who Says”: ... I’m no beauty queen, I’m just beautiful me. ”Saya adalah yang terbaik bagi keluarga kecilku, apapun cemoohan orang padaku.”


(Jogja, 20 Januari 2013)

Thursday, January 17, 2013

IRT



Suatu malam teman masa SMP menelepon. Dia menceritakan suasana reuni yang diadakan saat saya masih di Melbourne. “Luar biasa, teman-teman kita banyak yang sukses. Ada anggota dewan, dosen, pengusaha, dan pejabat. Tetapi ... ada juga yang hanya sebagai ibu rumah tangga sepertiku” – katanya dengan nada yang terdengar sedih.

Pun kutukas, “Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga itulah yang luar biasa! Tidak semua bisa melakukannya termasuk saya.” Jawaban yang tak kumaksudkan menghiburnya.

Teringat perkataan anak sulung laki-lakiku yang duduk di kelas 4 SD saat saya pamit ke Melbourne untuk penelitian disertasi selama tiga bulan. “Apa yang Mama cari di sana? Apa Mama bahagia nggak ada Kakak, Adik, dan Ayah?”

Pertimbangan untung rugi seperti dalam dunia bisnis kugunakan dan keputusan untuk meninggalkan keluarga saya ambil tanpa memedulikan selama tiga bulan itu anak-anak butuh bimbingan ibunya dalam menghadapi ujian mid dan akhir semester.

Kala di negeri orang, suami melaporkan kondisi anak sulungku yang mulai sering membantah, malas belajar, tak mau salat dan mengaji. Saat saya konfirmasi laporan ayahnya, anakku mengatakan: “ Mama jahat, tidak sayang Kakak, jadi untuk apa belajar, salat, dan mengaji?” Ucapan yang kemudian dia buktikan, nilai rapor rata-rata di bawah KBM (Ketuntasan Belajar Mengajar). Dia berhenti salat. Tak lagi mengaji di masjid.

Kusadari, begitu berarti seorang ibu baginya. Dan saat itu untuk menenangkan, saya berjanji tidak akan meninggalkannya. Namun, baru seminggu bersama anak-anak, keinginan untuk ikut kegiatan seminar di Hongkong, dan seminar di tiga negara lainnya saya lontarkan padanya. Sungguh di luar dugaanku dia berteriak sambil mengatakan, “ Kakak mau cari ibu baru yang nggak kerja, yang nggak pergi-pergi ke luar negeri.”

Sungguh memilukan jika ada perempuan yang tidak bangga dan bahagia menjadi seorang ibu rumah tangga. Dan aku sangat ingin rasanya, menorehkan pekerjaan di KTP-ku: “Ibu Rumah Tangga”.


(Jogja, 17 Januari 2013)