Wednesday, March 27, 2013

Kejujuran

“Tolong Ananda dijemput pada pukul 09.00, semua guru akan mengikuti acara outbound” – begitu isi pesan singkat dari guru kelas anak perempuanku membuat saya berteriak lantang meminta suamiku untuk segera ke sekolah anakku.

Saat menumis cumi-cumi makanan kesukaanku dan suami, terdengar suara sepeda motor suamiku memberitahukan kedatangannya sehabis menjemput putri kami.

“Mama … Mama … pusing … pusing …, Adik pusing, Ma,” panggil anak perempuanku dari teras rumah sembari merintih kesakitan.

Tanpa pikir panjang, saya segera mematikan kompor dan berlari ke arah putriku dan mengendongnya ke pembaringan. Kuraba dahinya yang seketika mengalirkan panas ke tanganku. Saat hendak mengambil obat di atas kulkas, anakku menghentikan niatanku dengan memegang tanganku.

“Adik tadi tidak bisa konsentrasi belajar bahasa Inggris dan matematika karena pusing. (Terisak lirih) Mungkin ini hukuman Allah karena Adik semalam tidak salat isya.”

Subhanallah, ucapku lirih dan langsung memeluknya dengan haru. Tak kusangka anakku telah begitu merasakan keterikatan dengan kewajiban melaksanakan ibadah salat lima waktu. Hingga sakit yang kini dia rasakan pun dikaitkan dengan kelalaiannya dalam menjalankan ibadah.

“Allah selalu sayang pada anak-anak seperti Adik yang shalihah. Sekarang minum obat ya!”

Pun obat penurun panas kuberikan padanya dan langsung diletakkan di ujung lidahnya. Sebelum menelan obat dengan beberapa teguk air putih, anakku memejamkan mata berdoa untuk kesembuhannya.

“Ma, boleh Adik menulis di buku ‘I love U’,” katanya sembari mengambil buku diary yang kubelikan beberapa bulan lalu.

Anggukan pun kuberikan padanya dan langkah pun kutujukan ke dapur untuk melanjutkan masakanku yang terputus. Dan tak berapa lama, kudengar suara anakku memanggil ayahnya berkali-kali.

Tak mendapatkan jawaban, dia ke dapur mendekatiku, ”Ayah ke mana sih, Ma?”

Saya segera menukas, ”Mungkin Ayah ke bengkel, Nak. (Jeda) Ada apa, Sayang?”

“Adik mau Ayah baca tulisanku. Mama kan lagi sibuk masak.”

“Sebentar lagi kok, Nak,” tukasku sembari memeluk dan memintanya menungguku di kamar.

Setelah mencuci semua peralatan masak, saya ke kamar menghampiri anak perempuanku yang kulihat asyik mewarnai gambar.

“Mana tulisanmu, Sayang?” pintaku dengan menadahkan tangan kananku.

Anak perempuanku menunjuk ke arah meja. Kulihat buku diarynya terbuka. Buku kuraih dan mulai membacanya di samping anakku.

“Bagus, Mama senang Adik sudah bisa nulis dengan jujur,” komentarku usai membaca tulisan singkatnya yang berisi penyesalan dan cintanya kepadaku dan Ilahi.

Anak perempuanku tersenyum sangat manis mendengar komentarku. Dan saya sungguh sangat senang melihatnya kembali riang. Rasanya saya sudah mulai berhasil membuatnya mau menulis perasaannya secara jujur setiap kali merasakan suatu kegembiraan, kesedihan, kesal bahkan rasa marah. Kejujuran yang kerap tak lagi kita temukan di masa dewasa. Ya, kejujuran yang tetap kuharap datang dari anak-anakku hingga kapan pun.

(Jogja, 27 Maret 2013)