“Tolong
Ananda dijemput pada pukul 09.00, semua guru akan mengikuti acara
outbound” – begitu isi pesan singkat dari guru kelas anak perempuanku
membuat saya berteriak lantang meminta suamiku untuk segera ke sekolah
anakku.
Saat menumis cumi-cumi makanan kesukaanku dan suami,
terdengar suara sepeda motor suamiku memberitahukan kedatangannya
sehabis menjemput putri kami.
“Mama … Mama … pusing … pusing …, Adik pusing, Ma,” panggil anak perempuanku dari teras rumah sembari merintih kesakitan.
Tanpa pikir panjang, saya segera mematikan kompor dan berlari ke arah
putriku dan mengendongnya ke pembaringan. Kuraba dahinya yang seketika
mengalirkan panas ke tanganku. Saat hendak mengambil obat di atas
kulkas, anakku menghentikan niatanku dengan memegang tanganku.
“Adik tadi tidak bisa konsentrasi belajar bahasa Inggris dan matematika
karena pusing. (Terisak lirih) Mungkin ini hukuman Allah karena Adik
semalam tidak salat isya.”
Subhanallah, ucapku lirih dan
langsung memeluknya dengan haru. Tak kusangka anakku telah begitu
merasakan keterikatan dengan kewajiban melaksanakan ibadah salat lima
waktu. Hingga sakit yang kini dia rasakan pun dikaitkan dengan
kelalaiannya dalam menjalankan ibadah.
“Allah selalu sayang pada anak-anak seperti Adik yang shalihah. Sekarang minum obat ya!”
Pun obat penurun panas kuberikan padanya dan langsung diletakkan di
ujung lidahnya. Sebelum menelan obat dengan beberapa teguk air putih,
anakku memejamkan mata berdoa untuk kesembuhannya.
“Ma, boleh Adik menulis di buku ‘I love U’,” katanya sembari mengambil buku diary yang kubelikan beberapa bulan lalu.
Anggukan pun kuberikan padanya dan langkah pun kutujukan ke dapur untuk
melanjutkan masakanku yang terputus. Dan tak berapa lama, kudengar
suara anakku memanggil ayahnya berkali-kali.
Tak mendapatkan jawaban, dia ke dapur mendekatiku, ”Ayah ke mana sih, Ma?”
Saya segera menukas, ”Mungkin Ayah ke bengkel, Nak. (Jeda) Ada apa, Sayang?”
“Adik mau Ayah baca tulisanku. Mama kan lagi sibuk masak.”
“Sebentar lagi kok, Nak,” tukasku sembari memeluk dan memintanya menungguku di kamar.
Setelah mencuci semua peralatan masak, saya ke kamar menghampiri anak perempuanku yang kulihat asyik mewarnai gambar.
“Mana tulisanmu, Sayang?” pintaku dengan menadahkan tangan kananku.
Anak perempuanku menunjuk ke arah meja. Kulihat buku diarynya terbuka. Buku kuraih dan mulai membacanya di samping anakku.
“Bagus, Mama senang Adik sudah bisa nulis dengan jujur,” komentarku
usai membaca tulisan singkatnya yang berisi penyesalan dan cintanya
kepadaku dan Ilahi.
Anak perempuanku tersenyum sangat manis
mendengar komentarku. Dan saya sungguh sangat senang melihatnya kembali
riang. Rasanya saya sudah mulai berhasil membuatnya mau menulis
perasaannya secara jujur setiap kali merasakan suatu kegembiraan,
kesedihan, kesal bahkan rasa marah. Kejujuran yang kerap tak lagi kita
temukan di masa dewasa. Ya, kejujuran yang tetap kuharap datang dari
anak-anakku hingga kapan pun.
(Jogja, 27 Maret 2013)