Wednesday, February 18, 2015

Harmonisasi

Dini hari jauh sebelum waktu subuh, kutelisik wajah di hadapanku yang sedang terlelap dibuai mimpi – senti demi senti seolah ingin menyelidik. Kutemukan guratan halus di bawah mata dalam gelapnya malam. Guratan ketulusan. Guratan yang selalu siaga menyinar semangat bak ‘power bank’ yang selalu siap mengalirkan daya bila sumber energi melemah.

Perlahan kusentuh wajah lelaki yang telah kupilih menjadi imamku empat belas tahun yang lalu. Rasa hangat menjalar liar merasuk jiwa. Tanpa bermaksud memutus mimpi, kubaringkan tubuh dengan suara berbisik. Namun saat ingin mendekap kehangatan, teriakan anak perempuanku terdengar dari kamar sebelah membuyarkan romantisme yang mulai kubangun.

Tergesa bangkit dari pembaringan dan melangkahkan kaki tanpa memedulikan suami yang terbangun karena kegaduhan yang kubuat. Anak perempuanku terduduk menangis tanpa henti memanggil dan mencariku. “Mama… Mama… Mama… di mana?” Segera kupeluk tubuh mungilnya dan mengusap rambut, menenangkannya. Setelah tangis terhenti saya pun mulai meninabobokannya dengan melafazkan beberapa surah pendek Al-quran sambil menggaruk punggungnya. Hanya butuh waktu beberapa menit anakku pun terlelap. Dan kini hanya saya seorang diri menikmati malam tanpa kantuk.

Dalam kesendirian, tanpa sengaja kubuka ikon album foto di telepon genggamku. Kucermati satu persatu foto yang ada. Tiba-tiba ... saya termangu saat melihat fotoku yang bersanding dengan suami. Masih lekat dalam ingatan foto itu diambil saat adik bungsuku menikah. Dan pada saat itu juga saya sedang hamil anak pertama. Foto itu pun membawaku kepada kenangan belasan tahun silam. Kenangan di mana cinta dan perhatianku masih terfokus pada kekasih dan calon bayiku. Cinta yang begitu mendalam dan belum terbagi.

Namun saat ini, cinta dan perhatianku harus terbagi menjadi beberapa bagian: anak, suami, keluarga dan pekerjaan. Terkadang kalut kurasa di saat dihadapkan pada prioritas. Semua bagian kerap meminta cinta dan perhatian di waktu yang bersamaan dengan kadar yang hampir sama pula. Protes pun acap kulontarkan pada diri sendiri bila tak dapat lagi berbuat bijak. “Apakah saya tidak punya hak untuk mendapatkan cinta dan perhatian yang sama untuk diriku sendiri?” Lagi-lagi egoisme menyerang dan merusak nilai pengabdianku. Pengabdian seorang wanita dalam mencari makna dan keberkahan hidup.

Seperti halnya semalam, dan malam-malam sebelumnya, kuingin berbagi cinta dan kasih dengan adil kepada suami, anak-anak, dan pekerjaan. Namun saya selalu tidak dapat melakukannya dan prioritasku selalu jatuh pada anak-anak dan pekerjaan. Walau demikian, bukan berarti membahagiakan suami tidaklah penting. Saling memahami, itulah solusi yang kerap kami bahas dalam menjaga harmonisasi dan kelanggengan cinta.

Hanya satu yang membuatku selamat, imamku sangat penuh pengertian. Dia tak banyak menuntut. Dia seakan tahu akan posisiku yang terjepit. Hanya saja, ada ragu menyelip di sela hatiku yang terancam sobek. Saya takut kehilangan rasa. Sangat takut kehilangan cinta. Sungguh ... saya takut. Saya tak mampu membayangkan ketegaran yang kumiliki tanpa suamiku berdiri di sisiku sebagai tiang. Dan di tiang itulah, saya dan anak-anak bergantung. Hal yang tak bisa kupungkiri!

(Jogja, 18 Februari 2013)

No comments:

Post a Comment