Saturday, February 1, 2014

Ketidakpuasan Manusia

"Manusia tak pernah puas. Selalu saja ada yang kurang. (Jeda) Aku melihat suaminya sangat sempurna. Namun, menurutnya banyak hal yang tak ada pada pasangannya dan ada pada selingkuhannya." Temanku mengoceh panjang lebar bernada sinis tentang perselingkuhan sahabatnya kepadaku. Aku hanya menempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Aku tak ingin berburuk sangka atau berpihak karena semuanya tak ada kaitannya denganku. Dan, aku hanya bisa berkomentar bernada netral: " Ah sudahlah.... biarkan dia menjalani hidupnya seperti itu karena telah menjadi pilihannya."
Temanku menatap tajam tepat di mataku beberapa detik. Setelah itu dia melengos tak senang.

"Apakah kamu tidak menyayanginya? Kita wajib memberinya solusi demi keutuhan keluarganya ."

Aku terdiam. Otakku bekerja mencari solusi. Namun, apakah tepat memberi solusi pada seseorang tanpa mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Belumlah tentu penilaian seseorang secara kasat mata dan sepihak selalu benar adanya. Pikiranku mulai mencoba menebak sebab perselingkuhan. Apakah suami tak mencintainya lagi? Apakah suami tak mampu memberinya nafkah lahir dan bathin? Ataukah masalah yang sebenarnya ada pada sahabat temanku yang tidak lagi bersyukur akan apa yang dimilikinya. Duh, kepalaku pusing memikirkan kisruh rumah tangga orang lain. Sementara aku sendiri kerap menghadapi permasalahan di dalam rumah tanggaku. Ketidaksamaan persepsi adalah contoh penyebab perselisihan diantaraku dan suami. Namun, aku selalu yakin semua itu merupakan 'ujian' kenaikan tingkat dari Ilahi. Permasalahan sebenarnya adalah terletak pada kepiawaian seseorang dalam mengendalikan kadar emosi dan level egois individu.

"Menyayangi seseorang bukan berarti kita harus mencampuri urusan mereka toh?" - jawabku bernada putus asa karena tak memiliki ide berupa solusi.

Temanku pun mengangguk dan berkata: "Betul juga, biarlah dia hadapi masalahnya sendiri dan kita mengambil hikmahnya."

Keputusan kami untuk tidak terlibat masalah sahabat temanku membuatku merenung.- "Adakah ini termasuk sikap 'siapa lu siapa gue' yang telah menjadi milik masyarakat perkotaan? Entahlah.... aku hanya ingin dia mandiri dalam menghadapi ujian hidup. Toh, hidup penuh akan tanggungjawab baik secara vertikal maupun horisontal.