Wednesday, January 22, 2014

BAHAGIA MANADO


Kuintip dari jendela pesawat, cuaca begitu cerah. Awan berarak menyapa ramah. Sinar mentari membelai hangat. Beralih dari jendela pesawat, terlihat wajah-wajah lelah dengan kantuk yang begitu menggelayut. Senyumku mengembang. Hari ini merupakan hari bersejarah bagiku. Hari dimana keluarga besar komunitas 'Nyiur Melambai' mewujudkan kebersamaan 'berbumbu' penuh harmonisasi. Perjalanan melelahkan terbayar dengan sambutan hangat teman-teman Manado. Senyum ceria, pelukan hangat begitu melupakan kami bila mereka masih dalam suasana duka akibat banjir bandang. Di tengah keceriaan, sempat tertangkap senyum bahagia dari sosok 'ayah' yang telah berhasil mengumpulkan kami - anak-anaknya untuk menikmati kebersamaan penuh cinta. Walau tubuhnya lelah, pancaran bahagia dari mata penuh cinta begitu membuatku kagum dan bangga. Dia begitu baik pada kami bahkan teramat baik. Dapatkah aku berperan sepertinya kelak bagi anak-anak muridku - sebagai seorang pendidik sekaligus sebagai orangtua bagi mereka.

Tak dapat menahan haru melihat kebersamaan yang telah lama terencana, aku pun mengajak teman-teman mengabadikan peristiwa bersejarah ini. Gambar demi gambar terekam dalam kamera kami. Rekaman yang akan membuatku ingat akan arti kebersamaan dan cinta.

Thanks to Allah yang telah mempertemukanku dengan 'ayah' dan 'saudara' yang begitu memperkaya batinku.......love u all.......

Wednesday, January 15, 2014

Bahagia yang Sederhana

Seminggu berlalu begitu cepat bak kilat. Tak ada aktivitas terkait akademik. Aku begitu menikmati suasana rumah lengkap dengan aroma cinta yang memabukkan. Terlena.
Bahagia memanglah sangat sederhana. Sesederhana senyuman ayah yang setiap saat mengembang sumringah. Sesederhana rengekan anak lelakiku yang sesekali minta disuap saat makan malam atau tangis anak bungsuku yang kerap cemburu pada kakaknya.
Semuanya kunikmati tanpa jeda tak terkecuali kehangatan cinta belahan jiwaku.


"Mama, tidak pernah melihatmu menulis selama di rumah. Padahal kamu harus segera selesai" - kalimat bernada gusar dari ibuku membuatku salah tingkah. Aku tak menjawab. Hanya pelukan serta pijatan lembut di bahunya kuberikan untuk melunturkan kekhawatiran ibuku.

"Berapa lama lagi?" tanya ibuku memecah kesunyian yang tercipta. Aku seketika menghentikan pijatan. Gamang untuk menjawab dengan prediksi. Aku pun menjawab dengan sebuah kilah.

"Allah akan memberikan waktu yang tepat untuk itu, Ma."

Dan aku berharap waktu yang tepat itu akan tetap memberi kami bahagia yang sederhana dan bukan bahagia 'mewah'. Toh, kebahagiaan adalah cita rasa rohani. Cita rasa yang kuharap selalu menuntunku untuk tidak ikut tergiur menikmati kebahagiaan semu yang penuh kemewahan dan hanya mengenyangkan raga.