Sunday, February 3, 2013

Cita Rasa Budaya Negeri

Setelah makan malam di warung langganan, saya dan suami menawarkan pada anak-anak menikmati malam Minggu di ujung Jalan Malioboro. Kami ingin memberi pengalaman yang berbeda. Awalnya mereka menolak karena ingin menikmati malam itu dengan bermain game di tempat permainan yang ada di mal seperti yang sering dilakukan. Namun setelah melihat keramaian sepanjang Jalan Malioboro yang dipenuhi atraksi musik dan tari saat kami melintas, anak-anak mulai tertarik. Anak-anak dan suamiku menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik jalanan khas Jogja di sadel sepeda motor yang tetap melaju. Tawa anak perempuanku terdengar begitu riang melihat goyangan badan ayahnya yang membuat sepeda motor ikut bergoyang.

Setiba di ujung jalan, sepeda motor diparkir. Kami mendekati dan bergabung dengan kerumunan orang yang asyik menikmati tarian khas Papua dalam rangka memeringati hari ultah Merauke. Anak lelakiku begitu tertarik dengan gerakan tari dan lagu yang mengiringi tarian. Rasa ingin tahu membuatnya bertanya padaku, “Ma, mengapa mereka menari hanya dengan gerakan loncat-loncat sambil berputar?” Jeda kemudian dia lanjutkan, “Apakah Mama mengerti arti lagu yang mereka nyanyikan?”

Saya terdiam, jawaban tidak kutemukan. Kulirik suami meminta bantuannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun hanya gelengan kepala dan senyum yang kudapat. Tanpa rasa sungkan kucolek lengan seorang penonton pria yang kuduga seorang mahasiswa asal Papua. Pertanyaan anak kusampaikan.

Mahasiswa itu memegang pundak anak lelakiku sembari menjelaskan arti gerakan tari dan makna lagu yang intinya merupakan luapan suka cita dan kecintaan rakyat Merauke akan daerah dan leluhur.

Belum puas dengan jawaban tersebut, putraku bertanya pada mahasiswa tersebut, ”Om, apa penari-penari itu orang Papua asli?”

Saya, suami, dan mahasiswa tersebut terbahak mendengar pertanyaan itu. Saya menduga putraku bingung karena para penari tidak menggunakan koteka dan rumbai yang dia ketahui merupakan pakaian adat Papua.

Tersadar anak perempuanku tidak ada di sampingku, saya pun mengitari pandangan mencari keberadaannya. Ternyata putriku sedang asyik menonton atraksi lain yang ada di seberang jalan. Saya memanggilnya. Dia berlari ke arahku.

“Mama, Adik bosan lihat tarian ini, kita ke sana aja,“ tukasnya sambil menunjuk kerumunan orang di tempat dia berdiri sebelumnya.

Pun kujawab, ”Tunggu sebentar, Kakak masih asyik nonton.”

Wajahnya cemberut, tanda kesal. Anak perempuanku pun mulai merengek sambil menarik tanganku mengajak menyeberangi jalan. Akhirnya kami pun mengikuti kemauannya.

Ternyata ... kami seperti ikut terhipnosis. “Saman”, tari tradisional Aceh sangat membuat anak-anakku terpukau. Gerakan yang begitu dinamis membuat mereka terkagum-kagum. Teriakan khas yang mengiringi tarian dengan bunyi ‘krrrrrrr yeah’ tidak henti saya dan anak-anak mencoba menirunya. Namun akhirnya hanya mendapat gelak tawa dari para penonton yang berada di sekitar kami. Terlebih saat penonton mendengar bunyi tersebut keluar dari mulut anak perempuanku yang cadel. “Klllllllllll yeah”.

Suasana malam yang begitu indah pun tercipta sempurna begitu melihat anak lelakiku mengeluarkan uang belanja dari saku celana dan meletakkannya ke kotak dana para penari yang kabarnya akan pentas ke Belgia. Amboi, dia ternyata telah bisa menghargai suatu karya seni walau dengan cara yang sederhana.

Malam semakin larut. Kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Di sepanjang jalan anak-anak menceritakan kegembiraan mereka dan meminta kami untuk setiap minggu ke ujung Jalan Malioboro. Sekonyong-konyong saya merasa sangat bersalah karena tidak pernah mengajak mereka menikmati hiburan budaya tradisional. Selama ini hanya game, musik dan lagu-lagu dari negara antah berantah yang kami kenalkan.

Sungguh, saya merasa bahwa betapa khilaf diriku karena tidak mengenalkan kekayaan budaya negeri sendiri kepada anak-anak. Betapa khilafnya saya sebagai seorang ibu yang baru kali ini mengenalkan mereka akan rasa bangga sebagai anak Indonesia.

Menjelang tidur, tiba-tiba tebersit niatanku untuk memanjakan mereka esok hari dengan hidangan “coto Makassar” dan “es palubutung” untuk mengenalkan tanah leluhur Bugis-Makassar melalui cita rasa makanan yang kupelajari dari ibuku, nenek mereka. Dan betapa bahagianya mereka makan, terlebih suamiku yang selalu menanti tanpa pernah meminta untuk kusajikan makanan khas kampung di tengah kehidupan kultur lain.

(Jogja, 3 Februari 2013)