Setelah
makan malam di warung langganan, saya dan suami menawarkan pada
anak-anak menikmati malam Minggu di ujung Jalan Malioboro. Kami ingin
memberi pengalaman yang berbeda. Awalnya mereka menolak karena ingin
menikmati malam itu dengan bermain game di tempat permainan yang ada di
mal seperti yang sering dilakukan. Namun setelah melihat keramaian
sepanjang Jalan Malioboro yang dipenuhi
atraksi musik dan tari saat kami melintas, anak-anak mulai tertarik.
Anak-anak dan suamiku menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik jalanan
khas Jogja di sadel sepeda motor yang tetap melaju. Tawa anak
perempuanku terdengar begitu riang melihat goyangan badan ayahnya yang
membuat sepeda motor ikut bergoyang.
Setiba di ujung jalan,
sepeda motor diparkir. Kami mendekati dan bergabung dengan kerumunan
orang yang asyik menikmati tarian khas Papua dalam rangka memeringati
hari ultah Merauke. Anak lelakiku begitu tertarik dengan gerakan tari
dan lagu yang mengiringi tarian. Rasa ingin tahu membuatnya bertanya
padaku, “Ma, mengapa mereka menari hanya dengan gerakan loncat-loncat
sambil berputar?” Jeda kemudian dia lanjutkan, “Apakah Mama mengerti
arti lagu yang mereka nyanyikan?”
Saya terdiam, jawaban tidak
kutemukan. Kulirik suami meminta bantuannya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun hanya gelengan kepala dan senyum
yang kudapat. Tanpa rasa sungkan kucolek lengan seorang penonton pria
yang kuduga seorang mahasiswa asal Papua. Pertanyaan anak kusampaikan.
Mahasiswa itu memegang pundak anak lelakiku sembari menjelaskan arti
gerakan tari dan makna lagu yang intinya merupakan luapan suka cita dan
kecintaan rakyat Merauke akan daerah dan leluhur.
Belum puas dengan jawaban tersebut, putraku bertanya pada mahasiswa tersebut, ”Om, apa penari-penari itu orang Papua asli?”
Saya, suami, dan mahasiswa tersebut terbahak mendengar pertanyaan itu.
Saya menduga putraku bingung karena para penari tidak menggunakan koteka
dan rumbai yang dia ketahui merupakan pakaian adat Papua.
Tersadar anak perempuanku tidak ada di sampingku, saya pun mengitari
pandangan mencari keberadaannya. Ternyata putriku sedang asyik menonton
atraksi lain yang ada di seberang jalan. Saya memanggilnya. Dia berlari
ke arahku.
“Mama, Adik bosan lihat tarian ini, kita ke sana
aja,“ tukasnya sambil menunjuk kerumunan orang di tempat dia berdiri
sebelumnya.
Pun kujawab, ”Tunggu sebentar, Kakak masih asyik nonton.”
Wajahnya cemberut, tanda kesal. Anak perempuanku pun mulai merengek
sambil menarik tanganku mengajak menyeberangi jalan. Akhirnya kami pun
mengikuti kemauannya.
Ternyata ... kami seperti ikut
terhipnosis. “Saman”, tari tradisional Aceh sangat membuat anak-anakku
terpukau. Gerakan yang begitu dinamis membuat mereka terkagum-kagum.
Teriakan khas yang mengiringi tarian dengan bunyi ‘krrrrrrr yeah’ tidak
henti saya dan anak-anak mencoba menirunya. Namun akhirnya hanya
mendapat gelak tawa dari para penonton yang berada di sekitar kami.
Terlebih saat penonton mendengar bunyi tersebut keluar dari mulut anak
perempuanku yang cadel. “Klllllllllll yeah”.
Suasana malam
yang begitu indah pun tercipta sempurna begitu melihat anak lelakiku
mengeluarkan uang belanja dari saku celana dan meletakkannya ke kotak
dana para penari yang kabarnya akan pentas ke Belgia. Amboi, dia
ternyata telah bisa menghargai suatu karya seni walau dengan cara yang
sederhana.
Malam semakin larut. Kami pun memutuskan untuk
pulang ke rumah. Di sepanjang jalan anak-anak menceritakan kegembiraan
mereka dan meminta kami untuk setiap minggu ke ujung Jalan Malioboro.
Sekonyong-konyong saya merasa sangat bersalah karena tidak pernah
mengajak mereka menikmati hiburan budaya tradisional. Selama ini hanya
game, musik dan lagu-lagu dari negara antah berantah yang kami kenalkan.
Sungguh, saya merasa bahwa betapa khilaf diriku karena tidak
mengenalkan kekayaan budaya negeri sendiri kepada anak-anak. Betapa
khilafnya saya sebagai seorang ibu yang baru kali ini mengenalkan mereka
akan rasa bangga sebagai anak Indonesia.
Menjelang tidur,
tiba-tiba tebersit niatanku untuk memanjakan mereka esok hari dengan
hidangan “coto Makassar” dan “es palubutung” untuk mengenalkan tanah
leluhur Bugis-Makassar melalui cita rasa makanan yang kupelajari dari
ibuku, nenek mereka. Dan betapa bahagianya mereka makan, terlebih
suamiku yang selalu menanti tanpa pernah meminta untuk kusajikan makanan
khas kampung di tengah kehidupan kultur lain.
(Jogja, 3 Februari 2013)
No comments:
Post a Comment