Saturday, February 21, 2015

Ratap Rindu

Pagi belum beranjak terganti siang.
Rindu pada kekasih dan buah hati tak terbendung lagi. Handphone kuraih dan menekan nomer kontak yang sangat kuhapal. Tut...tut...tut... Hanya suara itu saja yang terdengar hingga tergantikan suara operator dengan sangat santun mengucap terima kasih. "Ah... kemanakah kalian semua?" - kuhempaskan tubuh di kasur tipis jauh dari empuk sembari meratap tertahan. Bulir-bulir rindu berjatuhan. Aku begitu ingin mendengar 'suara-suara' pelita hidupku....bahkan terlalu menginginkannya. Ratap masih berlangsung hingga sadar menghampiriku. Sadar yang membawaku menjelajahi arti kebersamaan, perpisahan dan rindu. Dan diantara kata-kata tersebut ada perekat yang bernama kasih atau cinta. Bila tak ada kasih atau cinta dalam kebersamaan maka pada perpisahan tak kan ada  rindu yang tercipta. Rindu adalah luapan kasih atau cinta yang tak tersalurkan. Sampai pada sadar yang mendasar, aku pun bersimpuh dan melapaz: "astagfirullah."

Aku belum merasakan 'ratap rindu' padaNya. Apakah itu artinya kebersamaanku padaNya belum berlandaskan kasih atau cinta? Kebersamaan yang hanya dapat dikategorikan 'basa-basi'? Hanya melaksanakan  'wajib lapor' lima waktu?

Pada saat bersamaNya, aku tak memiliki waktu yang panjang  untuk 'bermanjaan' atau pun 'curhat'.  Waktu yang kuberikan untukNya sangat sedikiiitttt sekali bila dibandingkan berselancar bersama dengan para iblis buatan manusia. Aku benar-benar nista. Kenistaan seorang hamba yang begitu lalai dalam 'menjalin kebersamaan' dengan Penciptanya yang Maha Rahman dan Rahim.

Simpuhku dalam doa dengan penuh harap 'terjawabkan' :
"Ya Rabb, ampuni hambaMu ini. Berikan aku kesempatan untuk dapat menikmati 'ratap rindu' padaMu, sebelum roh yang Engkau titip padaku, Engkau ambil kembali....Berikan aku rasakan cintaMu dengan suka cita yang sangat mendalam ......suka cita akan rindu yang berbalas......aamiin."

(Jogja, 22 Februari 2015)

Wednesday, February 18, 2015

Harmonisasi

Dini hari jauh sebelum waktu subuh, kutelisik wajah di hadapanku yang sedang terlelap dibuai mimpi – senti demi senti seolah ingin menyelidik. Kutemukan guratan halus di bawah mata dalam gelapnya malam. Guratan ketulusan. Guratan yang selalu siaga menyinar semangat bak ‘power bank’ yang selalu siap mengalirkan daya bila sumber energi melemah.

Perlahan kusentuh wajah lelaki yang telah kupilih menjadi imamku empat belas tahun yang lalu. Rasa hangat menjalar liar merasuk jiwa. Tanpa bermaksud memutus mimpi, kubaringkan tubuh dengan suara berbisik. Namun saat ingin mendekap kehangatan, teriakan anak perempuanku terdengar dari kamar sebelah membuyarkan romantisme yang mulai kubangun.

Tergesa bangkit dari pembaringan dan melangkahkan kaki tanpa memedulikan suami yang terbangun karena kegaduhan yang kubuat. Anak perempuanku terduduk menangis tanpa henti memanggil dan mencariku. “Mama… Mama… Mama… di mana?” Segera kupeluk tubuh mungilnya dan mengusap rambut, menenangkannya. Setelah tangis terhenti saya pun mulai meninabobokannya dengan melafazkan beberapa surah pendek Al-quran sambil menggaruk punggungnya. Hanya butuh waktu beberapa menit anakku pun terlelap. Dan kini hanya saya seorang diri menikmati malam tanpa kantuk.

Dalam kesendirian, tanpa sengaja kubuka ikon album foto di telepon genggamku. Kucermati satu persatu foto yang ada. Tiba-tiba ... saya termangu saat melihat fotoku yang bersanding dengan suami. Masih lekat dalam ingatan foto itu diambil saat adik bungsuku menikah. Dan pada saat itu juga saya sedang hamil anak pertama. Foto itu pun membawaku kepada kenangan belasan tahun silam. Kenangan di mana cinta dan perhatianku masih terfokus pada kekasih dan calon bayiku. Cinta yang begitu mendalam dan belum terbagi.

Namun saat ini, cinta dan perhatianku harus terbagi menjadi beberapa bagian: anak, suami, keluarga dan pekerjaan. Terkadang kalut kurasa di saat dihadapkan pada prioritas. Semua bagian kerap meminta cinta dan perhatian di waktu yang bersamaan dengan kadar yang hampir sama pula. Protes pun acap kulontarkan pada diri sendiri bila tak dapat lagi berbuat bijak. “Apakah saya tidak punya hak untuk mendapatkan cinta dan perhatian yang sama untuk diriku sendiri?” Lagi-lagi egoisme menyerang dan merusak nilai pengabdianku. Pengabdian seorang wanita dalam mencari makna dan keberkahan hidup.

Seperti halnya semalam, dan malam-malam sebelumnya, kuingin berbagi cinta dan kasih dengan adil kepada suami, anak-anak, dan pekerjaan. Namun saya selalu tidak dapat melakukannya dan prioritasku selalu jatuh pada anak-anak dan pekerjaan. Walau demikian, bukan berarti membahagiakan suami tidaklah penting. Saling memahami, itulah solusi yang kerap kami bahas dalam menjaga harmonisasi dan kelanggengan cinta.

Hanya satu yang membuatku selamat, imamku sangat penuh pengertian. Dia tak banyak menuntut. Dia seakan tahu akan posisiku yang terjepit. Hanya saja, ada ragu menyelip di sela hatiku yang terancam sobek. Saya takut kehilangan rasa. Sangat takut kehilangan cinta. Sungguh ... saya takut. Saya tak mampu membayangkan ketegaran yang kumiliki tanpa suamiku berdiri di sisiku sebagai tiang. Dan di tiang itulah, saya dan anak-anak bergantung. Hal yang tak bisa kupungkiri!

(Jogja, 18 Februari 2013)

Tuesday, February 17, 2015

Hikmah Percakapan

Anak perempuanku mengajukan protes saat saya selesai membaca dongeng pengantar tidur dua edisi terakhir kisahku. “Mama, ceritanya kok cinta terus, sih. Iiiih … Mama pacaran terus dengan Ayah.” Sungguh polos dan lugu. Saya membelai rambut dan membalikkan badannya untuk memulai ritual menggaruk punggungnya. “Besok, Mama berkisah tentangmu,” hiburku. Eh … tidak kusangka anak lelaki yang kuduga telah terlelap memelukku dari belakang dan berkata, ”Mama akan selalu bersama Ayah, kan? Pun Kutukas dengan memandang wajah suci itu dengan lembut, ”Tentu Sayang. Kami akan selalu bersama merawat dan mendidik kalian, Insya Allah.”

Sembari memeluk kedua buah hatiku yang terlelap nyenyak, saya berusaha memetik makna pelajaran kehidupan yang kuperoleh melalui percakapan singkatku dengan anak-anak. Pelajaran yang tidak boleh kuanggap sepele. Pelajaran yang sangat membantuku dalam berproses menjadi seorang ibu, istri, dan sahabat. Dan…..saya pun sungguh takut bila tidak dapat mengambil hikmah, yang kuyakini merupakan tuntunan Ilahi.

Dalam perenungan, kusadari anak-anak mulai beranjak dewasa, tidak seperti yang kuduga. Mereka sudah mulai mereka-reka arti sebuah hubungan antara wanita dan laki-laki dewasa dengan konteks ‘pacaran’. Hubungan yang mereka resapi dari pengamatan sehari-hari atas romantisme yang terjadi antara ayah dan ibunya. Dan saya sebagai seorang ibu sangat merasa diuntungkan atas persepsi seperti itu. Penggambaran ‘pacaran’ yang terekam dalam otak mereka harus kupertahankan. Setidaknya untuk lebih memudahkan bagi kami sebagai orangtua dalam membendung pengaruh negatif lingkungan dan media massa yang mengumbar pacaran begitu vulgar.

Memang tidaklah mudah bagi orangtua untuk menjelaskan ‘sex education’ pada anak-anak terlebih di usia kanak. Penjelasan secara teoritis tidak akan membuat mereka paham. Penjelasan secara vulgar akan membuat otak mereka merekam sisi negatif. Dan untuk anak-anakku, saya memutuskan untuk menjelaskan hal tersebut dengan pemberian contoh harmonisasi hubunganku dan ayah mereka – suatu contoh harmonisasi hubungan yang berlandaskan pada cinta dan keimanan.

Masih kuteruskan renungan walau kantuk mulai menggodaku. Saya terusik dengan pertanyaan anak lelakiku yang seolah meragukan kelanggengan kebersamaanku dan ayahnya. Tentu tidak akan ada pertanyaan bernada khawatir seperti itu bila tidak ada fakta yang menjadi pengalamannya. Tak kupungkiri, di saat lelah mendera atau di saat egois mendominasi, saya sering labil. Dan di saat seperti itulah anak-anak kusajikan tayangan ketidakharmonisan suatu hubungan. Tayangan yang terekam di otak anakku itulah yang merangsang kekhawatiran.

Penyesalan memang selalu di akhir. Namun perbaikan selalu berproses. Tidak ada kata terlambat untuk menyadari dan memperbaiki suatu kesalahan. Pun, saya mulai paham akan hikmah dari percakapan. Hikmah yang mengantarku untuk berusaha mengaransemen kembali lagu harmonisasi hubungan dan keseimbangan emosi dalam keluarga kecilku. Dan aku bertekad mulai belajar memahami suami dan anak-anak, karena dengan cara itulah Ilahi menuntunku menghasilkan lagu terindah yang akan menemani kebahagiaan kami.

Amboi … betapa indahnya hikmah yang kudapat. Dengkuran halus kedua anakku pun seolah mengiyakan hasil kontemplasiku. Dengkuran terindah yang pernah kudengar. Dan tanpa terasa, saya mendengkur pula di dada suami.

(Jogja, 19 Februari 2013)

Sahabat

Suatu malam yang 'riuh' berirama dengkur orang-orang terkasih, aku 'terlilit' sepi. Ada yang terasa kurang di dalam hidupku. Hal ini membuatku gelisah mencari jawab. Aku punya keluarga, punya pekerjaan, hidup pun tidak sengsara. Apa lagi yang tak kumiliki hingga hidupku sering 'kesepian'?

Jawaban kucoba cari dengan berdiskusi dengan guru menulisku melalui obrolan di media sosial. Tanpa kuduga dengan waktu yang singkat, dia bisa menyimpulkan bahwa aku tak punya teman dengan kategori sahabat.

"Kalau kamu tak pernah percaya dengan persahabatan, maka bersiaplah hidup  sunyi di hari tuamu."

Aku tercengang mendapat jawaban seperti itu. Kupikir-kupikir dengan cermat, apa iya aku tak punya sahabat?  Temanku banyak, ....tapi..... rasanya aku tak punya seorang 'sahabat'. Loh, sahabat itu apa sih?

"Sahabat itu adalah orang yang memahami 'jiwa' mu, mampu mengisi 'kekuranganmu' dan dia ibarat pakaian, mampu melindungimu dari 'panas' dan 'dingin'."

"Suami adalah sahabatku," jawabku dengan pasti untuk memungkiri dugaannya.

"Memang benar pasangan kita adalah sahabat sejati, namun kamu membutuhkan sahabat di luar lingkup keluarga."

Kini, dalam kesendirian aku mengenang semuanya. Dan, sepi masih kurasa. Sepertinya aku harus mulai mencari sahabat. Tetapi, apakah di kekinian masih ada yang namanya 'sahabat'? Yang kutahu di kekinian sahabat dalam arti 'kepentingan'. Bukan seperti yang kau katakan guru. Bukan sahabat seperti yang kau miliki hingga akhir hayatmu.

Duh, sepi membuatku berkhayal hidup dengan banyak sahabat dalam arti sesungguhnya. Bukan seperti sahabat si A yang sangat menjijikkan, memakan sahabat sendiri demi 'kepentingan'.  Sahabat yang akan menuai akibat dari perbuatannya sendiri. (Duh, kok melenceng nih cerita...ups sorry).

Apapun yang kuperoleh hari ini tak pernah bosan kuberharap : "Semoga suatu hari sang sahabat menghampiri dan mampu mengisi kekekuranganku dengan ikhlas hingga hidup terasa 'riuh', aamiin."


#merindu#

(Jogja, 6 Februari 2015)

Olshop bakulan

Awalnya dari iseng akhirnya menjadi serius, dari tidak tahu apa-apa menjadi tahu sedikit tentang bisnis online. Banyak teman dumay (dunia maya) yang dengan senang hati berbagi ilmu bahkan ada yang mengirimi ebook ke emailku. Mereka begitu 'membuka tangan' menerimaku sebagai 'murid' dan 'partner'. Aku menikmati rencana Allah ini. Kujalani hingga berganti rencanaNya yang lain untukku.

Banyak hal yang kuperoleh dari secuil pengalaman ini. Dan satu, dua diantaranya adalah bertemu partner yang masih sangat muda dan calon pembeli 'rewel' (ups maaafff). Awalnya, aku menyangsikan partner berusia muda ini 'the owner'  big olshop. Ternyata usia tak menjamin kemampuan seseorang. Adik  berparas cantik ini ternyata sangat piawai berbisnis. Dan, hubungan kerja kami sangat mengasyikkan. Bagaimana tidak, kami sama-sama mau menerima kritik dan saran dari satu sama lain. Perbedaan usia yang jauh biasanya membuat 'si tua' merasa lebih jago dari 'si muda' karena 'pengalaman hidup'. Namun, itu tak terjadi pada kami. Aku tak pernah segan belajar dari 'adik' tentang sesuatu yang tak kupaham, begitu pula sebaliknya. Kami saling memahami sampai sejauh ini. Alhamdulillah.

Hal lain yang menjadi pengalamanku dalam waktu yang singkat ini adalah bisnis online bisa berlangsung bila saling percaya. Tetapi, kepercayan tak bisa dipaksakan. Seperti yang kualami tadi siang. Seorang calon pembeli meminta kepadaku untuk mengirimkannya beberapa gambar produk yang kujual. Dan, singkat cerita dia membeli beberapa produkku. Yang paling menakjubkan bagiku, dia mengirimkanku pesan yang berbunyi :

"Mbak, aku baru transfer kalau sudah lihat semua barang yang kuinginkan difoto dalam satu gambar."

Inti pesan itu, calon pembeli tak percaya pada si penjual. Dia mungkin berfikir, aku menjual barang fiktif saja yaitu foto produk. Atau bisa jadi dia berfikir di zaman serba instan ini sangatlah langka orang yang memegang amanah. Apa pun itu, aku tak kuasa memaksanya untuk percaya begitu saja padaku selain mengerjakan apa yang dia inginkan.

Yah....dengan menikmati rencana Ilahi banyak pengalaman yang kudapat. Pengalaman yang mengajarkan padaku untuk pandai 'menempatkan' diri dengan selalu berpedoman pada ajaranNya. Toh, tak ada manusia yang sempurna termasuk diriku, jadi tak perlu risau bila berhadapan dengan banyak karakter yang tak sesuai. Yakinlah, 'tangan' Ilahi akan menuntun kita menuju rencanaNya yang lebih baik daripada rencana manusia.


#ceritapengalamanbakulan


(Jogja, 7 Februari 2015)

Bercak

Manusia pada saat lahir adalah suci, itu yang kupercaya hingga kini. Dalam perjalanan hidup, manusia 'berproses'. Nah, dalam 'proses inilah ada bercak-bercak yang menodai hingga tak lagi bisa dikatakan suci. Namun, aku pun percaya, manusia dibekali hati nurani oleh Sang Penguasa. Sehingga, bila bercak ingin atau telah 'melekat' padanya, maka hati nurani pun kan beraksi. Adapun awal aksi dari hati nurani adalah sangat jelas yaitu menolak bercak. Tetapi bila manusia tak lagi mendengarkan suara hati dikarenakan menerima bercak dengan suka hati, maka........... waspadalah!!!!!! Bukan saja hati nurani yang tertutup bercak, tapi 'cahaya' pun enggan singgah menyinari wajah manusia jelita nan rupawan.

Congkak, serakah, iri hati, dengki adalah beberapa sifat bawaan manusia yang merupakan faktor pemicu 'tumbuh kembang' bercak. Saat ini, aku adalah manusia penuh bercak. Bercak yang tumbuh dan berkembang dikarenakan ketidakmampuanku mengendalikan hawa nafsu untuk memenuhi 'ambisi (-)'. Ambisi (-) yang terkadang membuatku tuli hingga tak mampu mendengar suara indah hati nurani. Ambisi (-) yang kerap membutakan mata batinku hingga tak mampu membedakan warna hitam dan putih.

Ingin kurasakan lagi menjadi bayi suci tanpa bercak. Bayi yang tak memiliki ambisi (-). Tapi apalah daya, waktu terus berjalan maju dan tak akan pernah mundur. Manusia benar adanya selalu berproses. Dan, kali ini kuberharap dengan sisa waktuku yang tak lama lagi dapat berjumpa dengan banyak manusia yang mampu menumbuhkan ambisi (+) yang mungkin masih banyak kumiliki. Ambisi (+) yang kuharap paling tidak dapat memudarkan warna bercak dan mengeluarkan sedikit cahaya. Setidaknya, dengan bercak yang memudar dan sedikit cahaya, aku menjadi manusia yang berproses ke arah yang lebih baik. Toh, selamanya aku tak akan pernah menjadi manusia suci kecuali atas ridha Sang Pencipta manusia - Allah Ya Rabb.

#harapanmanusiapendosa#

(Jogja, 17 Februari 2015)

Thursday, February 5, 2015

Bersyukur dan meminta ampun

Berhari-hari terbaring di kasur yang jauh dari kata empuk dengan ditemani 'lappy' merah butut, lumayan membosankan. Ingin rasanya beraktivitas seperti biasa untuk segera menyelesaikan tugas yang sedang kuemban. Namun, apalah kuasaku... badan terasa lemah dikarenakan sakit yang didiagnosis dokter akibat stress. Stress kah diriku? Entahlah....aku tak mampu menilai diriku sendiri.

Bercerita soal sakit, sehat, lemah, dan kuat, tiba-tiba kuteringat pada lelaki tua yang beberapa bulan lalu kujumpa di bus. Siang itu, di suatu halte pemberhentian bus 'Trans Jogja', lelaki tua yang kuperkirakan berumur di atas 80 tahunan melompat ke bus dengan sigap ...sangat cekatan (malah menolak bantuan petugas). Sosok tua itu jauh dari kata renta dan lemah. Dengan gerak cepat kupersilakan beliau duduk tepat di sampingku. Dia tersenyum sangat ramah. Sejenak dua jenak kami duduk berdampingan saling membisu. Saat aku ingin mengamati wajah tuanya, saat itu pula dia menegurku dengan ramah.

"Anak, tujuannya mau kemana?"

"Ke pasar Pak, ingin membelikan ibu baju batik."

Setelah percakapan pembukaan, aku mulai mengorek rahasia kesehatan sosok tua yang ternyata berusia 93 tahun. Wajah memang tak akan menipu bila dia sudah masuk kategori tua. Tetapi 'tampilan prima'nya membuatku terkagum-kagum. Bagaimana tidak, ayahku dengan usia 10 tahun lebih muda darinya tak seprima itu.

"Bapak dulu seorang pejuang, Nak. Bapak dari dulu hingga kini selalu menerima dengan ikhlas kehendakNya..... (hela nafas) ....Sakit, sehat, lemah, kuat adalah dari Sang Penguasa."

Aku manggut-manggut tanda paham.

"Rahasia kesehatan Bapak ada dua, Nak. Bersyukur dan meminta ampun padaNya."
(Menatap wajahku dengan cermat....terlihat wajah lebih tua dari usia hahahaha)

"Setiap saat panjatkan kata hamdallah dan istigfar. Apapun yang sedang anak alami, Insya Allah semua akan terasa sempurna."

Sosok tua itu menutup pembicaraan dengan senyum yang sangat tulus, kemudian pamit padaku untuk turun di halte berganti bus menuju kediamannya. Kuamati punggungnya yang kokoh. Tanpa sadar kulapazkan kedua kata yang dia sarankan dalam hati (tanpa sadar air mata pun menitik).

"Astagfirullah, alhamdulillah Ya Rabb, Engkau telah beri aku kesempatan bertemu dengan lelaki tua itu. Melalui dirinya Engkau ingatkan aku akan begitu banyak nikmatMu yang kuingkari....Melalui dirinya Engkau ingatkan aku untuk selalu bersyukur padaMU."

Sekonyong-konyong lamunanku buyar dengan bunyi ketukan di pintu kamar kostku.

Tok ..tok...tok...tok.....

"Mbak... buka pintunya.... Ibu bawa makanan dan teh hangat untukmu."

Masya Allah, benar kata lelaki tua itu hidup akan terasa sempurna dengan selalu bersyukur dan meminta ampun padaNya. Buktinya...dengan terbaring lemah di tempat tidur, rezekiNya menghampiriku melalui tangan ibu kost. Alhamdulillah.

Sakit, sehat, kuat dan lemah memang benar datang dariNya. Jadi sangatlah tak patut bila kita sesumbar atau mengeluh berlebihan. Toh, raga dan jiwa ini milikNya, dan hanya dengan ikhtiar dan keikhlasan menerima semua karuniaNya hidup kan terasa indah sempurna. Insya Allah.


#‎menasehatidirisendiri‬#

(Jogja, 5 Februari 2015)

Tuesday, February 3, 2015

Fantasi

Terkadang sesorang ingin menjadi orang lain dengan cara 'berfantasi'. Namun, tidak semua orang paham di kala 'fase fantasi' berlangsung sosok diri telah ditanggalkan berganti menjadi sosok yang baru. Dan, orang seperti inilah yang sangat sulit berfantasi, karena selalu menjadi dirinya yang 'asli' lengkap dengan atributnya.




Ini cerita apa sih? 'Berfantasi maksudnya apa? Tujuannya apa? Entahlah... saya juga bingung. Saya pribadi sering berfantasi menjadi orang super pintar, sukses dan  kaya raya. Kenapa berfantasi? Jujur, saat jenuh tumpah ruah, saya ingin menjadi orang lain... yah ..menikmati kepuasan semu menjadi pribadi yang beda. 

Seandainya pintar...mungkin kuliahku sudah lama rampung.... 

Seandainya sukses dan kaya raya...mungkin impian ayahku memiliki sekolah gratis yang super mewah dapat kuwujudkan. Intinya dengan fantasi, hidup serasa sangaaaaatttt mudah dan semua keinginan terwujud......

Seandainya..... seandainya......

Berandai-andai memang nikmat...bahkan sangat nikmat (kerap ada yg sakau), tetapi tak lantas tenggelam dalam kalimat 'I wish bla bla bla' saja kan.....

Hidup adalah sebuah realita kawan. Jadi berandai-andai jangan menjadi rutinitas ya.... entar hidup dalam mimpi lho! Yo wis.. tetap semangat!!!!!!! Merdeka!

(Jogja, 1 Februari 2015)

Rindu

Seandainya dirimu masih 'nyata', mungkin namaku masuk dalam daftar blokir pertemanan denganmu di dunia maya.

Masih teringat kata-katamu saat itu: "Kudelete namamu kalau jualan di dindingku!" Kutahu posting bakulan sering mengganggu kenyamanan seseorang yang berselancar di dunia maya terutama yang berkaitan dengan 'mata dan kantong' (tak ada penjelasan detail). Tetapi alasanmu (melarang) yang sebenarnya apa? Setahuku, dirimu hobi berbelanja. Setahuku, dirimu royal membelanjakan penghasilanmu untuk membahagiakan orang-orang terkasih. Seharusnya dengan bakulan yang hilir mudik di dindingmu dapat memudahkanmu berbelanja. Tak harus meninggalkan pekerjaan menulis yang sangat kau cintai. Ah... andai dirimu 'nyata' kuingin menggodamu dengan bakulanku. Tapi, apa aku seberani itu? Entahlah, yang pasti kurindu 'omelanmu', nasihatmu, supportmu dan masih banyak yang lainnya...

Dari dunia nyata ini, kumohon jangan delete namaku karena aku sangat mengasihimu. Kuakui, bakulan adalah 'mainan baru', namun itu tak berarti aku tak merindukan 'rutinitas' yang dulu kau ajarkan padaku. Aku sangat merindukan suasana itu, dimana dirimu selalu menunggu 'ceritaku' dengan sangat sabar.



Menjelang 100 hari dirimu berada di alam yang berbeda denganku...dan pada malam ini, seolah sosokmu menggerakkan jemari ini menari menulis dengan jujur. Yah... jujur aku sangat merindukanmu lebih dari yang kau kira.... miss u so much my teacher #Asdar_Muis#. Teriring doa untukmu, bahagia di pelukan Ilahi, aamiin.

(Jogja, 1 Februari 2015)

Berantakan

Malam ini aku ingin memulai kisah dari kata 'berantakan'. Kata itu keluar dari seorang teman yang notebene seorang penulis dan 'pengangguran eksklusif' (sorry teman kutak tahu pekerjaanmu yang 'asli'). Kata itu merupakan hasil evaluasi setelah membaca tulisan 'awal'ku dan mendengar proses penulisan bersimbah air mata (lebay dikit boleh kan?). Sungguh, aku sangat senang karena masih ada orang jujur sepertinya. Namun, kala kupinta dia merinci hal yang berkaitan dengan 'berantakan', jawaban yang kudapat hanya tawa dan tawa. Benar-benar 'berantakan'!!!! 



Siang menjelang sore kucoba melupakan kata 'berantakan'.  Kusibukkan diri dengan mengurus bakulanku yang sudah mulai ramai dikomentari walau hanya sebatas pertanyaan seputar harga, kualitas dan bla bla bla. Eh...tak lama kemudian ada pesan di inbox. Pesan dari seorang sahabat yang akrab kupanggil 'akang' ( kuragukan dia orang sunda).  Perbincangan seputar kenangan pada 'sang guru', aktivasnya, bakulanku, hingga masalah rencana studi anaknya pun mengalir deras. Saat itu pula terbayang mimiknya di kala bercerita di hadapanku ( sssstttt.... dia sangat ceriwis).

Sekonyong-konyong mimik itu berubah menjadi rasa rindu pada banyak 'mas dan mbak' saat studi di luar negeri.... Mereka sangat menyayangiku dan menganggapku 'adik' yang luar biasa 'berantakan' (ngomong sembarangan, bertindak sesuka hati, dan maunya 'hidup enak'). Dan, hingga kini perhatian mereka selalu ada untukku. Istimewanya lagi, walau usia beranjak senja, mereka tetap menganggapku 'adik' yang sangat 'berantakan'. Duh, sepertinya kata 'berantakan' adalah 'pujian' bagiku (GR banget.... ). 

Apa pun itu, bahagia rasanya dikelilingi oleh orang-orang yang 'peduli' dengan keberadaanku. Toh, hidup akan nikmat bila satu sama lain saling 'peduli' seperti pribahasa temanku: "lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri." Ups sorry..... sepertinya peribahasa dipaksakan ikut bagian dalam cerita..... ..... dasar 'berantakan'!!!!!

(Jogja, 2 Februari 2015)