Anak
sulungku menangis histeris di ujung telepon genggamku. Dia membuat kakak
perempuan dan ibuku kewalahan membujuknya berhenti menangis. Kucari
informasi sebab dari kegaduhan di pagi hari menjelang anak-anak ke
sekolah melalui anak perempuanku.
"Kakak menangis karena tidak
lihat ayah berangkat ke Jakarta tadi subuh, Ma. (Jeda) Sekarang Kakak
tidak mau ke sekolah, padahal hari ini masih ujian semester."
"Tolong minta Kakak bicara dengan mama, Dik."
Terdengar isak tangis anak sulungku beberapa detik tanpa mampu berbicara denganku.
"Kak, jangan nangis ya.... Ayo sekarang mandi dan ke sekolah."
"Mama.... kakak mau ayah ada di sini. Kakak mau ikut ayah, jawabnya dengan suara lirih diantara isakan tangisnya.
Aku mencoba menghibur dengan mengalihkan perhatiannya ke mainan yang
kujanjikan. Namun, usahaku tak berhasil. Dia hanya menginginkan
kami-ayah dan ibunya.
"Ma, pulang..... temani kakak. (Isak tangis) Mama telepon ayah dan bujuk ayah untuk tidak pergi tinggalkan kakak lagi ya....."
Rasa haru membuatku terdiam. Aku tak sangggup menjawab permintaannya.
Tak ingin lagi menambah kesedihannya dengan jawaban 'Ya' yang kutahu
sulit untuk terwujud. Aku tak akan bisa menahan suamiku untuk tidak
pergi meninggalkan kami dengan tujuan yang mulia-mencari nafkah untuk
kebahagiaan kami. Dan, aku hanya berharap waktu akan memberikan
pemahaman pada anak-anak akan pengalaman berharga yang mereka jalani.
Pengalaman yang mengajarkan arti sebuah perjuangan, pengorbanan dan
keikhlasan untuk mencapai tujuan hidup-ridho Ilahi.
(Jogja, 11-12-2013)
No comments:
Post a Comment