Thursday, December 26, 2013

Jenuh

Membunuh rasa jenuh dengan berbagai cara malah membuat rinduku memuncak. Aku rindu menjadi kanak. Bebas berekpresi tanpa beban. Selalu riang. Sedih terasa hanya sesaat.

Aku berteriak lantang seolah melawan takdir.

"Aku ingin kembali ke masa kanak......

Tiba-tiba .....imajinasiku berproses. Aku berubah menjadi anak perempuan berusia 8 tahun. Kulihat diriku di cermin, aku mirip sekali dengan anak lelakiku. Cepat kuraih telepon, mencoba melanjutkan khayalku. Kudengar suara manja anak perempuanku. Dia mengajakku bermain boneka yang tak pernah kusukai.

"Main sekolah-sekolahan aja ya..... Aku guru dan kamu murid."

Arghhhhh.... khayalku buyar. Imajinasiku tak bekerja dengan baik. Aku tak ingin menjadi diriku di masa kanak. Tetapi, aku ingin menjadi sosok yang beda. Sosok yang tak membosankan.

Duh, hari ini terasa aneh. Sama anehnya saat meminta suamiku sesekali bersikap romantis padaku. Ah, mustahil.

Tawaku meledak saat mengingat usaha suamiku menyenangkan hatiku dengan berkata manis yang diupayakan berkesan romantis. Dia adalah sosok yang natural. Tak ada kesan basa-basi atau pun pura-pura.

Tak berapa lama, aku pun kembali tertawa. Tawa yang betul- betul mengejek kondisiku saat ini. Sosok rapuh yang berpura-pura tegar dan kuat.

"Pulanglah....peluk anak-anakmu. Dan kasihani dirimu yang haus akan kasih."

Bisikan sosok kanak yang kuimpikan membuatku luluh. Aku tak seharusnya seperti ini. Toh, jujur pada diri sendiri dan berperan sesuai dengan lakon yang digariskanNya akan membuahkan kenikmatan berupa rasa syukur. Rasa yang sering terlupa.

(Jogja, 26 Desember 2013)

Sunday, December 22, 2013

Mama

Pagi ini aku kangen masakan ibuku. Masakan penuh cinta dan kasih yang tulus. Aku juga kangen 'cerewet' ala ibuku yang kerap membuatku geli bahkan tak jarang kesal. "Ups.....maaf, Ma...."

Hidup bersama ibu membuatku nyaman, bahkan terkesan aku dan keluarga kecilku menambah bebannya di usia yang sepuh. Saat jauh dari keluarga, aku percaya ibuku akan merawat anak-anak dan suami dengan tulus. Walau, sering ibuku tak lagi memiliki kesabaran menghadapi tingkah anak-anak yang 'super duper jahil'.

"Mama punya anak tujuh tapi tak pernah serepot merawat dua anakmu.... " - lapor ibuku melalui telepon. Aku sungguh merasa gagal sebagai seorang ibu saat itu karena tidak mampu menangani anak sendiri. Anak yang menjadi tanggungjawabku. Seharusnya, aku tidak lagi membebani ibuku dalam memberi perhatian, pengarahan dan kehangatan pada anak-anak. Tapi, lagi-lagi aku egois. "Maafkan aku, Ma...."

Duh.....tak akan habis rasa bersalah kutuliskan bila coretan ini kuteruskan. Jadi sebaiknya kuhentikan dengan ungkapan kasih buat ibuku tercinta:

"Selamat hari ibu, Ma..... Terima kasih atas semua kasihmu. Cintamu membuatku bangga memilikimu.....Love you forever Mom...."

(Jogja, 22-12-2013)

Wednesday, December 18, 2013

Mengasah Empati

Tundukkan Setan Pikiranmu, Jadilah Malaikat Kehidupan - judul sebuah buku 'best seller' tergeletak di lantai kamar kostku. Buku milik salah satu teman studiku yang sarat akan tips untuk meraih impian itu tak lagi ingin kubaca.

Aku masih saja tersenyum saat mengingat beberapa poin yang sempat merasuki pikiranku. Bagaimana tidak, tips yang dianjurkan cukup sederhana, namun sulit untuk dilaksanakan, seperti: "Belanjalah sayur di tukang sayur gerobak dan tidak usah menawar serta bayarlah lebih mahal. Atau, ambil selembar mata uang terbesar yang ada di dompet anda dan berikan pada tukang sapu jalanan."

Aku masih saja tersenyum mengingat terlalu banyak orang yang mengaku kaya tetapi sangat miskin dalam berbagi. Tidak terkecuali diriku. Masalah berbagi masih kukalkulasi dengan persamaan yang rumit. Begitu banyak pertimbangan untung dan rugi.

Tiba-tiba, aku teringat pada sosok anak perempuan usia belasan yang selalu meminta belas kasih pengunjung kedai langgananku. Hanya satu atau dua orang saja yang berminat berbagi rezeki, itu pun hanya uang receh. Mungkin, orang-orang sangat mematuhi himbauan pemerintah untuk tidak memberi uang kepada peminta-minta. Tetapi, apakah tak ada lagi signal dari naluri yang begitu sensitif yang kita miliki dalam berempati kepada orang yang tepat? Aku pun sering tak seimbang dalam menilai sisi positif dan negatif 'seseorang'. Kerap hatiku tak tersentuh melihat pengemis dikarenakan ada prasangka mereka dipekerjakan oleh seseorang.
Tetapi, kurasa tak ada salahnya sesekali mempraktekkan tips dari buku tersebut sebagai latihan dalam berempati. Dan, mungkin kelak aku merasakan manfaatnya menjadi orang kaya yang tak miskin berbagi.

Tawa pun tak sadar keluar dari rongga dadaku dengan lepas. Aku menertawai diriku yang belum bisa menundukkan setan pikiranku. Suatu tawa yang memotivasiku untuk tidak menjadi seorang malaikat kehidupan tetapi cukup mempunyai kesempatan untuk melaksanakan tips kehidupan dengan tepat. Toh, aku tetap ingin menjadi manusia yang sempurna dikarenakan ketidaksempurnaan yang ada.

(Jogja, 18-12-2013)

Tuesday, December 17, 2013

Kesungguhan

Senja mulai menyapa. Kutatap langit beberapa saat mencari jawab gelisahku. Percuma. Kaki pun kulangkahkan menuruni tangga rumah kostku. Gontai, seolah tak bertenaga. Kaki terus melangkah menyusuri jalan raya yang sangat padat. Pandanganku kosong. Aku bingung di saat rinduku memuncak. Suara sahabatku terngiang kembali.

"Pulanglah!"

"Tidak, saat inilah waktu yang tepat untuk suatu target."

"Sejak kapan kamu percaya dengan target?" tanya sahabatku dengan nada yang kubenci. Seolah tak ingin berhenti menyerangku, dia pun melanjutkan tanya,"Apakah ada 'garansi' dari ketidakpulanganmu kali ini?"

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku emosi dan meradang. Mungkin menurut orang lain itu adalah suatu kalimat tanya biasa. Tetapi, tidak bagiku. Kalimat tersebut meragukan kemampuanku mengendalikan rasa rindu yang memuncak pada keluarga kecilku.

"Apa pun katamu, aku tetap di sini dengan rencanaku. Rasa rindu bukanlah halangan, tetapi pemicu semangatku."

Wajah ragu sahabatku terlihat jelas mengikuti langkah gontaiku. Wajah yang menginginkan 'garansi' - target tercapai tanpa ada yang terluka.

Langit pun kutatap garang memaksa jawaban. Sia-sia. Aku pun berhenti melangkah seolah ingin mengusir jauh rasa bingung dan gelisah. Istigfar kulafazkan, mohon ampunan dan rahmatNya. Toh, pasang surut semangat dan tekad adalah sesuatu yang pasti. Dan, tidaklah ada kemampuanku untuk mengendalikan kepastian kecuali atas kuasaNya. Subhanallah. Keyakinan ini pun memantapkan langkahku untuk tidak pulang hingga batas waktu yang ditentukanNya.

 

(Jogja, 17-12-2013)

Sunday, December 15, 2013

Saat Hati Berbicara

"Mencoba menata hati dan perasaan dengan mempertimbangkan semua kepentingan secara bijak." Hanya kalimat itu yang kusimpulkan setelah bermunajat pada Ilahi atas semua masalah yang terjadi akibat keputusanku meninggalkan keluarga untuk 'menyendiri' - fokus pada tugas akhir studi.

Prasangka kurang baik yang dilontarkan anak sulungku semalam, kucoba jadikan sebagai penyemangat. Aku yakin suatu saat nanti dia akan paham betapa besar rasa cintaku padanya. Tidak seperti yang dia ucapkan melalui telepon.

"Mama lebih mementingkan urusan sekolah dan pekerjaan dibanding kakak, adik dan ayah. Mama tidak pernah mengerti perasaan kami."

Air mataku mengalir deras saat mendengar ucapannya. Aku tak pernah menyangka keputusanku meninggalkannya untuk sementara sangat melukainya. Kerinduan yang memuncak padaku meluapkan emosi yang tak tertahankan. Aku diam tak membantah tuduhannya. Kevakuman yang terjadi beberapa menit membuatnya gelisah. Putraku memanggilku berulangkali seakan takut hape kumatikan.

" Mama, maaf kalau kakak sudah membuat Mama sedih. Kakak hanya ingin jujur seperti yang Mama ajarkan."

" Iya, Nak. Tidurlah sekarang dan doakan mama ya, Sayang."

"Kakak belum bisa tidur. Mama cerita dulu ya....."

Nada bicara putraku telah stabil dan itu sangat melegakan perasaanku. Dan, kesempatan itu tak kusia-siakan demi meraih kasih tulusnya kembali melalui kisah nyata perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anak-anaknya seorang diri.

Anak sulungku begitu antusias mendengarkan ceritaku. Dan, tak kusangka dia bisa menangkap pesan dari kisah itu.

" Ma, di dunia ini semua ibu sayang anaknya. Kalau ada ibu yang tidak sayang anaknya berarti ibu itu sakit jiwa alias gila. Dan, kakak yakin Mama tidak gila."

Duh....aku tak kuasa menahan tangisku. Anakku sungguh cerdas. Walau belum memahami semua kejadian, kuyakin di bawah alam sadarnya dia percaya akan kasihku yang tanpa batas padanya. Dan, aku pun yakin rasa percaya itu juga yang akan mematangkan emosinya dalam bersikap dan bertindak secara bijak seiring waktu. Toh, hidup adalah suatu proses.

(Jogja, 15-12-2013)


Thursday, December 12, 2013

Bakti Seorang Istri

Sendiri di kamar kost yang berukuran sempit di malam yang sunyi, membuatku kerap jenuh dan merindukan rumah - tempat keluargaku berkumpul berbagi kasih. Tak terkecuali malam ini, rasa itu menderaku. Kucoba mengatasinya dengan mengaktifkan radio telepon genggamku. Lagu lawas yang tersaji kunikmati sembari menatap langit-langit kamar.

Berbagai peristiwa berkelebat nyata di mataku. Namun, tiba-tiba otakku memerintahkan untuk fokus pada suatu kejadian di suatu malam yang sangat membuatku kagum bahkan terkagum-kagum.

Alkisah, malam itu aku dan teman-teman sedang melayat di rumah keluarga pejabat institusi tempatku bekerja. Saat menunggu kedatangan sang pejabat dan keluarga yang dalam perjalanan Mataram-Jogja , aku melihat hal yang sungguh menyentuh. Sepasang suami istri yang berusia senja berjalan beriringan. Sang istri bersikap siaga di samping suaminya yang terserang stroke dengan mengamati langkah demi langkah yang sungguh lambat. Sesekali dia membantu suaminya mengangkat tongkat berkaki tiga - alat bantu berjalan.

Pandangan tak beralih hingga kulihat sang istri membungkukkan badannya membukakan sepatu suaminya. Aku sungguh kagum pada perempuan tua itu. Dia begitu sangat memerhatikan suaminya. Elusan di punggung dan kaki pasangannya pun dia lakukan saat beristirat di ruang tamu. Pikirku, itu dilakukannya untuk menghibur dan menguatkan sekaligus sebagai tanda kasih pada pasangan hidupnya.

"Hei....kok bengong?" tanya temanku sembari menepuk pundakku.

"Ah...tidak apa-apa. Bisakah saya bersikap seperti ibu tua itu? (Jeda) Dia begitu tulus dan sangat berbakti pada suaminya."

"Tentu bisa dan saya yakin kamu akan mampu melakukannya kelak."

Aku terdiam. Kucoba tidak membayangkan apa yang akan terjadi kelak pada nasibku dan pasangan. Toh, kuyakin semua akan berjalan baik bila kami selalu berada di 'rel'- Nya dan meyakini pasangan yang diberikan Ilahi adalah yang terbaik dan terindah dalam menjalani kehidupan.

(Jogja, 12-12-2013)

Wednesday, December 11, 2013

Kehilangan

Anak sulungku menangis histeris di ujung telepon genggamku. Dia membuat kakak perempuan dan ibuku kewalahan membujuknya berhenti menangis. Kucari informasi sebab dari kegaduhan di pagi hari menjelang anak-anak ke sekolah melalui anak perempuanku.

"Kakak menangis karena tidak lihat ayah berangkat ke Jakarta tadi subuh, Ma. (Jeda) Sekarang Kakak tidak mau ke sekolah, padahal hari ini masih ujian semester."

"Tolong minta Kakak bicara dengan mama, Dik."

Terdengar isak tangis anak sulungku beberapa detik tanpa mampu berbicara denganku.

"Kak, jangan nangis ya.... Ayo sekarang mandi dan ke sekolah."

"Mama.... kakak mau ayah ada di sini. Kakak mau ikut ayah, jawabnya dengan suara lirih diantara isakan tangisnya.

Aku mencoba menghibur dengan mengalihkan perhatiannya ke mainan yang kujanjikan. Namun, usahaku tak berhasil. Dia hanya menginginkan kami-ayah dan ibunya.

"Ma, pulang..... temani kakak. (Isak tangis) Mama telepon ayah dan bujuk ayah untuk tidak pergi tinggalkan kakak lagi ya....."

Rasa haru membuatku terdiam. Aku tak sangggup menjawab permintaannya. Tak ingin lagi menambah kesedihannya dengan jawaban 'Ya' yang kutahu sulit untuk terwujud. Aku tak akan bisa menahan suamiku untuk tidak pergi meninggalkan kami dengan tujuan yang mulia-mencari nafkah untuk kebahagiaan kami. Dan, aku hanya berharap waktu akan memberikan pemahaman pada anak-anak akan pengalaman berharga yang mereka jalani. Pengalaman yang mengajarkan arti sebuah perjuangan, pengorbanan dan keikhlasan untuk mencapai tujuan hidup-ridho Ilahi.


(Jogja, 11-12-2013)

Tuesday, December 10, 2013

Bahagia dan Kebahagiaan


Kebahagiaan merupakan impian setiap insan. Untuk mendapatkannya tentulah dibutuhkan perjuangan berupa ikhtiar dan doa.

Seperti itulah inti diskusi antara aku dan keponakanku di sela-sela menikmati cola float di suatu gerai fast food di kawasan Malioboro.

Hampir setengah jam kami mengulas tentang impian kebahagiaan. Dan, aku pun tersadar akan waktu yang begitu cepat berlalu. Kini, keponakankuh telah tumbuh dewasa dan bukan kanak lagi. Dia punya mimpi yang indah bersama pujaan hatinya. Namun, ada hal yang takut dia hadapi dalam meraih impian tersebut. Salah satunya adalah restu orangtua. Dari hari ke hari dirajutnya mimpi pada zona aman. Tak ada keberanian menghadapi rintangan yang menghadang menjelang garis 'bahagia'. Begitu banyak pertimbangan yang menjadi penghalangnya.

"Sampai kapan kamu akan terjebak dalam kondisi tidak nyaman seperti ini? (Jeda) "Tidakkah mendapatkan kepastian akan membuatmu yakin akan terwujudnya mimpimu?"

" Tapi........."

" Sudahlah, raih mimpimu dan tak ada kata tapi," bantahku dengan suara tegas. Dan, kulanjutkan dengan menawarkan beberapa solusi padanya.

Beberapa kali anggukan yang mantap kulihat dan meyakinkanku akan ada perubahan setelah ini. Dan, aku pun membayangkan hari bahagia itu juga akan menjadi hari bahagiaku. Hari dimana mimpi terwujud dengan kegigihan akan usaha dan doa.

(Jogja, 10-12-2013)

Monday, December 9, 2013

Rindu


"Mama, tanggal berapa pulang?"

"Mama belum tahu, Nak."

Tangis pilu terdengar sangat dekat di telingaku. Tangis sedih karena rasa rindu yang mendalam.

"Dik, jangan nangis tetap semangat ya...., mama akan segera pulang."

"Mama....janji cepat pulang ya...please....."

Telepon kumatikan tanpa mampu menuntaskan perbincangan. Sebelum hari ini, aku tak pernah mengkhawatirkannya. Putriku sangatlah mandiri dan mampu mengalahkan perasaan sedihnya dengan beraktivitas. Namun, semuanya berubah. Apakah dia tak kuat lagi berjauhan denganku?

Aku bingung diantara dua kepentingan dan tak dapat memutuskan yang lebih penting. 

(Jogja, 9-12-2013)


Saturday, December 7, 2013

Hidup Harus Terus Berjalan


'Hidup harus terus berjalan'. Sebaris kalimat yang selalu terngiang di telinga dan terekam di otakku, sepekan terakhir ini.

"Keripik talas, Bu...dicoba enak lho," ujar teman kuliah mengalihkan perhatianku dari layar laptop. Aku hanya mengangguk tanpa selera mencoba keripik yang berkemas tak menarik.

"Rasanya luar biasa lho, Bu. Dibumbui dengan cinta dan ketulusan."

Keningku membentuk garis tiga menanggapi kalimat hiperbola temanku.
 
"Betul, Bu. Setiap selesai salat subuh saya bertemu dengan ibu penjual keripik yang sudah sepuh."
 
Cerita pun berlanjut tentang  kegigihan sang penjual sekaligus pembuat keripik. Tak ada tujuan lain selain menjadi orang yang berguna dan berarti dalam kehidupan ini. Dia tak berharap untung yang banyak, cukup untuk membeli beras sekilo setiap hari sangatlah membuatnya bersyukur.
 
Aku terhenyak dengan perasaan aneh yang kurasa.Malu teramat sangat bila bercermin pada kisah sang penjual keripik. "Sudahkah aku berbuat sesuatu untuk menjadi bernilai bagi kehidupan?" atau " Sudah tuluskah aku menjalani hidup ini sebagai bentuk syukur atas segala nikmat Ilahi?"
 
Aku mengambil sebungkus keripik dan menikmatinya dengan penuh rasa. 'Bumbu' ketulusan kasih dan cinta begitu nikmat mengalir ke lubuk hatiku. Dan, aku pun tahu makna dari 'hidup harus terus berjalan'. Hidup adalah totalitas dan tanggungjawab.
 

(Jogja, 7-12-2013)

Thursday, December 5, 2013

Cahaya Kasih


     

"Ibu jadi konsultasi dengan promotor kemarin?" tanya laki-laki yang berwajah sejuk di sampingku. Aku terdiam sejenak sembari mencari jawaban yang pasti. Kulihat matanya begitu tajam meneliti riak di wajahku, seolah mencari kesungguhan tekad yang pernah kujanjikan padanya.

"Belum Pak, aku belum siap. (Jeda) Selain itu kemarin aku dan teman-teman melayat ke rumah atasan kami."
 
Aku merunduk tanpa berani menatapnya. Kuyakin dia sangat kecewa karena ketidaksungguhanku.
 
"Kalau sudah punya tekad harus diniatkan Bu.....jangan setengah-setengah."
 
"Inggih Pak. Matur nuwun."
 
Ada rasa haru menyelimuti hatiku. Kasih seorang teman yang belum lama kukenal begitu sangat menyentuh. Dia begitu tulus memberi 'support' padaku. Bagiku, inilah salah satu bentuk kesempurnaan seorang manusia, ketulusan dalam berbagi kasih tanpa pernah berpikir keuntungan yang akan diperoleh. Dan tentunya dengan 'cahaya kasih' inilah asa pun kurajut.
 
(Jogja, 5-12-2013)