Membunuh
rasa jenuh dengan berbagai cara malah membuat rinduku memuncak. Aku
rindu menjadi kanak. Bebas berekpresi tanpa beban. Selalu riang. Sedih
terasa hanya sesaat.
Aku berteriak lantang seolah melawan takdir.
"Aku ingin kembali ke masa kanak......
Tiba-tiba .....imajinasiku berproses. Aku berubah menjadi anak perempuan berusia 8 tahun. Kulihat diriku di cermin, aku mirip
sekali dengan anak lelakiku. Cepat kuraih telepon, mencoba melanjutkan
khayalku. Kudengar suara manja anak perempuanku. Dia mengajakku bermain
boneka yang tak pernah kusukai.
"Main sekolah-sekolahan aja ya..... Aku guru dan kamu murid."
Arghhhhh.... khayalku buyar. Imajinasiku tak bekerja dengan baik. Aku
tak ingin menjadi diriku di masa kanak. Tetapi, aku ingin menjadi sosok
yang beda. Sosok yang tak membosankan.
Duh, hari ini terasa aneh. Sama anehnya saat meminta suamiku sesekali bersikap romantis padaku. Ah, mustahil.
Tawaku meledak saat mengingat usaha suamiku menyenangkan hatiku dengan
berkata manis yang diupayakan berkesan romantis. Dia adalah sosok yang
natural. Tak ada kesan basa-basi atau pun pura-pura.
Tak
berapa lama, aku pun kembali tertawa. Tawa yang betul- betul mengejek
kondisiku saat ini. Sosok rapuh yang berpura-pura tegar dan kuat.
"Pulanglah....peluk anak-anakmu. Dan kasihani dirimu yang haus akan kasih."
Bisikan sosok kanak yang kuimpikan membuatku luluh. Aku tak seharusnya
seperti ini. Toh, jujur pada diri sendiri dan berperan sesuai dengan
lakon yang digariskanNya akan membuahkan kenikmatan berupa rasa syukur.
Rasa yang sering terlupa.
(Jogja, 26 Desember 2013)
No comments:
Post a Comment