Seminggu berlalu begitu cepat bak kilat. Tak ada aktivitas terkait
akademik. Aku begitu menikmati suasana rumah lengkap dengan aroma cinta
yang memabukkan. Terlena.
Bahagia memanglah sangat sederhana.
Sesederhana senyuman ayah yang setiap saat mengembang sumringah.
Sesederhana rengekan anak lelakiku yang sesekali minta disuap saat makan
malam atau tangis anak bungsuku yang kerap cemburu pada kakaknya.
Semuanya kunikmati tanpa jeda tak terkecuali kehangatan cinta belahan jiwaku.
"Mama, tidak pernah melihatmu menulis selama di rumah. Padahal kamu
harus segera selesai" - kalimat bernada gusar dari ibuku membuatku salah
tingkah. Aku tak menjawab. Hanya pelukan serta pijatan lembut di
bahunya kuberikan untuk melunturkan kekhawatiran ibuku.
"Berapa
lama lagi?" tanya ibuku memecah kesunyian yang tercipta. Aku seketika
menghentikan pijatan. Gamang untuk menjawab dengan prediksi. Aku pun
menjawab dengan sebuah kilah.
"Allah akan memberikan waktu yang tepat untuk itu, Ma."
Dan aku berharap waktu yang tepat itu akan tetap memberi kami bahagia
yang sederhana dan bukan bahagia 'mewah'. Toh, kebahagiaan adalah cita
rasa rohani. Cita rasa yang kuharap selalu menuntunku untuk tidak ikut
tergiur menikmati kebahagiaan semu yang penuh kemewahan dan hanya
mengenyangkan raga.
No comments:
Post a Comment