Wednesday, January 15, 2014

Bahagia yang Sederhana

Seminggu berlalu begitu cepat bak kilat. Tak ada aktivitas terkait akademik. Aku begitu menikmati suasana rumah lengkap dengan aroma cinta yang memabukkan. Terlena.
Bahagia memanglah sangat sederhana. Sesederhana senyuman ayah yang setiap saat mengembang sumringah. Sesederhana rengekan anak lelakiku yang sesekali minta disuap saat makan malam atau tangis anak bungsuku yang kerap cemburu pada kakaknya.
Semuanya kunikmati tanpa jeda tak terkecuali kehangatan cinta belahan jiwaku.


"Mama, tidak pernah melihatmu menulis selama di rumah. Padahal kamu harus segera selesai" - kalimat bernada gusar dari ibuku membuatku salah tingkah. Aku tak menjawab. Hanya pelukan serta pijatan lembut di bahunya kuberikan untuk melunturkan kekhawatiran ibuku.

"Berapa lama lagi?" tanya ibuku memecah kesunyian yang tercipta. Aku seketika menghentikan pijatan. Gamang untuk menjawab dengan prediksi. Aku pun menjawab dengan sebuah kilah.

"Allah akan memberikan waktu yang tepat untuk itu, Ma."

Dan aku berharap waktu yang tepat itu akan tetap memberi kami bahagia yang sederhana dan bukan bahagia 'mewah'. Toh, kebahagiaan adalah cita rasa rohani. Cita rasa yang kuharap selalu menuntunku untuk tidak ikut tergiur menikmati kebahagiaan semu yang penuh kemewahan dan hanya mengenyangkan raga.

No comments:

Post a Comment