Suatu malam teman masa SMP menelepon. Dia menceritakan suasana
reuni yang diadakan saat saya masih di Melbourne. “Luar biasa, teman-teman kita
banyak yang sukses. Ada anggota dewan, dosen, pengusaha, dan pejabat. Tetapi
... ada juga yang hanya sebagai ibu rumah tangga sepertiku” – katanya dengan
nada yang terdengar sedih.
Pun kutukas, “Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga itulah yang luar
biasa! Tidak semua bisa melakukannya termasuk saya.” Jawaban yang tak
kumaksudkan menghiburnya.
Teringat perkataan anak sulung laki-lakiku yang duduk di kelas 4 SD
saat saya pamit ke Melbourne untuk penelitian disertasi selama tiga bulan. “Apa
yang Mama cari di sana? Apa Mama bahagia nggak ada Kakak, Adik, dan Ayah?”
Pertimbangan untung rugi seperti dalam dunia bisnis kugunakan dan
keputusan untuk meninggalkan keluarga saya ambil tanpa memedulikan selama tiga
bulan itu anak-anak butuh bimbingan ibunya dalam menghadapi ujian mid dan akhir
semester.
Kala di negeri orang, suami melaporkan kondisi anak sulungku yang
mulai sering membantah, malas belajar, tak mau salat dan mengaji. Saat saya
konfirmasi laporan ayahnya, anakku mengatakan: “ Mama jahat, tidak sayang
Kakak, jadi untuk apa belajar, salat, dan mengaji?” Ucapan yang kemudian dia
buktikan, nilai rapor rata-rata di bawah KBM (Ketuntasan Belajar Mengajar). Dia
berhenti salat. Tak lagi mengaji di masjid.
Kusadari, begitu berarti seorang ibu baginya. Dan saat itu untuk
menenangkan, saya berjanji tidak akan meninggalkannya. Namun, baru seminggu
bersama anak-anak, keinginan untuk ikut kegiatan seminar di Hongkong, dan
seminar di tiga negara lainnya saya lontarkan padanya. Sungguh di luar dugaanku
dia berteriak sambil mengatakan, “ Kakak mau cari ibu baru yang nggak kerja,
yang nggak pergi-pergi ke luar negeri.”
Sungguh memilukan jika ada perempuan yang tidak bangga dan bahagia
menjadi seorang ibu rumah tangga. Dan aku sangat ingin rasanya, menorehkan
pekerjaan di KTP-ku: “Ibu Rumah Tangga”.
(Jogja, 17 Januari 2013)
No comments:
Post a Comment