Wednesday, April 16, 2014

Maha Guru 'Kehidupan'

Wajah anak perempuanku tak lagi sedih. Kekecewaan yang dirasakannya semalam pun tidak tampak. Setidaknya, rayuanku mengajak berenang dapat membuat dia lupa pada rindu yang tak terlampiaskan pada anak kakakku.

Semalam sepupunya yang berdomisili di Sidoarjo tiba di Yogyakarta bersama teman-teman sekolah. Dikarenakan kegiatan yang cukup padat, dia hanya bisa menemani anakku beberapa menit. Padahal, anakku telah membayangkan kebersamaan melakukan berbagai kegiatan yang menyenangkan. Penjelasan demi penjelasan mengenai kondisi sepupunya tak membuat anakku mengerti. Akhirnya, hanya tangis yang dapat membuatnya terlelap dan melupakan semuanya.

Dari sudut kolam renang pemula milik Universitas Negeri Yogyakarta, kulihat keceriaan “Dewi Penasihat”-ku berenang bersama beberapa orang dewasa. Sesekali dia berteriak memanggilku seolah ingin memamerkan keahliannya berenang dengan bantuan pelampung lengan. Tidak ada yang lebih indah dalam hidupku selain keceriaan dan kebahagiaan anak-anak. Pasalnya, semua itu dapat membuatku lupa akan kemungkinan beratnya perjuangan untuk masa depan mereka.

Kala usai berenang dan menikmati mi goreng buatanku, dia berujar, “Terima kasih ya, Ma, sudah mau mengajakku berenang.” Selanjutnya, ciuman bertubi-tubi pun mendarat di pipi kananku. Ada rasa haru terselip di hatiku melihat bahagianya begitu sederhana. Tak banyak tuntutan. Walau kutahu saat ini dia ingin ayah dan kakaknya pun dapat menemaninya berenang dan merasakan kebahagiaan bersama. Tapi dia mafhum dengan kegiatan sosial ayahnya, begitu pula dengan kegiatan rutin kakaknya di hari libur. Dan, kesediaanku menemaninya sudah cukup membahagiakannya.

Kepolosan seorang anak banyak mengajarkanku tentang makna hidup yang sesungguhnya. Namun, hingga kini belum banyak yang dapat kulakukan untuk membuat mereka selalu bahagia. Ambisiku membentuk anak-anak menjadi yang ‘terbaik’ kerap membuat mereka sedih. Temperamental, itulah kelemahanku dalam bersikap.

Pernah suatu hari, anak lelakiku menangis tersedu-sedu karena amarahku. Dia kuusir dari kamar karena tak mengindahkan aturanku. Berkali-kali dia memohon maaf padaku tak jua membuat hatiku luluh. Entah, saya selalu merasa dilecehkan anak sendiri bila aturan dan perkataanku tak dipatuhi. Hal itu membuatku merasa gagal menjadi seorang ibu, sehingga sebagai kompensasi dari rasa sedih dan kecewa pada diri sendiri pun kuluapkan pada anak-anak dalam bentuk marah.

Saya memang bukanlah ibu yang baik. Namun, anehnya anak-anak tidak pernah menilaiku seperti itu. Pun anak lelakiku pernah mengutarakan pendapatnya saat kupinta penilaiannya – ”Mama adalah ibu yang aneh, sejenak marah … sebentar lagi baik. Eeee... sudah itu kita ditraktir makan. Sepertinya Mama mengajarkan pada kami ‘bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.

Waduh, ternyata usia tak menjamin kedewasaan seseorang dalam berpikir dan bersikap. Saya sungguh malu dengan penilaian anakku. Namun, apapun itu tak bisa kupungkiri anak-anak adalah Maha Guru bagiku – guru yang banyak mengajarkanku untuk bisa lulus ujian kehidupan. Dan, juga sekaligus menjadi pendidikan buat anak-anakku dengan menjadikan diriku sebagai contoh.

(Jogja, 2 Juni 2013)

No comments:

Post a Comment