Sunday, November 2, 2014

TULUS-JIWA GURUKU


Masih dalam suasana duka. Hati dan pikiranku belumlah menyatu. Kehilangan sosok seorang guru dan sahabat sangat membuatku terpukul. Rindu begitu mengusik hingga membuatku tak berkutik. Kuingin menyapamu melalui inbox media sosial. Bercerita banyak hal dan tentunya tak bosan mengingatkanmu untuk menjaga pola makan.  Namun, itu tak mungkin lagi. Dirimu telah bersamaNya-Sang Penciptamu. Janjimu tak membuatku sedih, tak kau tepati. Tahukah kau Guru, sepeninggalmu aku sangat berduka. Dukaku begitu mendalam.

Saat kubuka dinding tempatmu berkarya, duka begitu banyak tertuang dalam tulisan. Begitu banyak orang yang mengaku saudara, sahabat, anak dan muridmu mencurahkan segala rasa dan kenangan tentangmu. Seketika, air duka itu menganak sungai. Pada saat ini, aku pun ingin mencurahkan kenangan tentangmu Guru melalui tulisan ini….

Tepat dua tahun lalu, aku memberanikan diri meng-invite-mu menjadi teman di salah satu jejaring media sosial. Walau aku terbilang kerabat dekatmu, namun aku tak pernah mengenalmu secara langsung. Aku hanya berteman dengan adik-adikmu, bahkan dapat dikatakan akrab dengan dua orang adikmu terutama si bontot. Yah, hari itu tanpa sengaja aku membaca tulisanmu di dinding si bontot. ‘Sihirmu’ membuatku terkesima. Kau adalah penulis yang sangat jujur. Tulisanmu adalah dirimu seutuhnya. Sungguh, saat itu juga aku bermimpi menjadi seorang penulis sepertimu.

Sekitar dua bulan setelah permintaanku menjadi muridmu, barulah ada respon positif darimu melalui inbox.

“Mana tulisanmu? Kirimkan segera! Aku tak punya banyak waktu. Kuberi waktu 10 menit.”

Aku tersentak kaget. Bingung.

“Duh, bagaimana sih ini orang…belum ngajari nulis…udah main nodong tulisan,”gerutuku tak menentu. Tapi, entah mengapa aku tak mampu membantah perintahmu. Jemariku menari cepat mencipta cerita perdana yang berjudul “Ibu Rumah Tangga”. Setelah 5 menit ceritaku selesai dan segera kukirim ke inboxmu.

Aku gelisah. Takut mendapat cemooh sebagai penilaianmu tentang ceritaku. Kulirik inbox berkali-kali. Dan… akhirnya penilaianmu mengejutkanku.

“Aku sudah menduga kamu punya kemampuan untuk menulis. Dan, sekarang tunjukkan karyamu ke publik, publish ke dindingmu. Kita lihat respon pembaca.”

“Ga ah….. aku malu. Tulisanku jelek. Aku ga berbakat. Ajari aku! Setelah mahir, barulah ku-publish karyaku. Please!”

Sepuluh, lima belas menit, jawabanmu tak kunjung hadir. Aku berpikir, pastilah dirimu kecewa atau marah atau…ah masa bodoh. Saat itu aku benar-benar tak percaya diri. Ceritaku tak bagus bila dibandingkan dengan karya murid-muridmu yang kukenal di dunia maya.

Satu jam kemudian, dalam kantuk yang amat sangat kulihat jawabanmu.

“Kutunggu, tak kunjung kau kirim karyamu. Kumohon kirimlah! Dan, mulai besok kamu rutin menulis rubrik ‘Ibu Rumah Tangga’. Percayalah, menulis bukanlah bakat. Menulis tak beda dengan menjahit. Awalnya menjiplak pola yang ada, namun setelah itu akan tercipta polamu sendiri.”

‘Sihirmu’ benar-benar membuatku tak berdaya untuk membantah. Cerita demi cerita kukirim ke inboxmu sebelum ku-publis. Itu kulakukan karena ingin mendengar kesanmu pada cerita keseharianku sebagai seorang pembaca. Mungkin aku terlalu naïf ingin menjadi sepertimu-penulis yang jujur.

Kerap sehabis membaca ceritaku, kau berkomentar dengan nada yang sama.

“Sungguh bahagia dirimu mempunyai pengalaman yang tidak pernah bisa kumiliki – membesarkan dan mendidik anak kandung. Aku hanya bisa membesarkan dan mendidik anak orang lain, dan …..itu pengalaman yang sangat berbeda.”

Guru…. kau adalah manusia biasa bukanlah malaikat. Namun, tak ada yang bisa mengingkari bila ketulusan adalah jiwamu. Aku sangat terkesima mendengar komentarmu pada saat kulontarkan pujian bahwa kau adalah seorang ayah dan guru yang hebat.

“Nilai-nilai yang kumiliki itu talenta kebudayaan yang berasal dari nenek moyang yang tulus dan baik hati.”

Kini, dalam malam yang sunyi, aku mengenangmu Guru. Kenangan demi kenangan bersamamu menyadarkanku, selama ini kau telah menularkan ‘nilai-nilai’ itu kepada kami – saudara, sahabat, anak dan murid-muridmu dengan jiwamu – TULUS.

Selamat beristirahat Guru. Tak ada lagi waktu 24 jam yang membuatmu sibuk memikirkan ‘deadline’. Kini saatnya menuai hasil pengejawantahan ‘nilai-nilai’ yang membuatmu menjadi seorang manusia yang begitu amanah dalam menjalankan ke-khalifahan. Percayalah, duka kehilanganmu tak akan lama, karena kutahu kau tak menginginkan itu. Duka kan kuganti dengan karya. Toh, manusia yang hidup masih bertugas dan mempunyai tanggungjawab hingga waktu yang selalu menjadi rahasia Ilahi.

(Yogyakarta, 31 Oktober 2014)

No comments:

Post a Comment