Sunday, November 30, 2014

Ikhlas

Senandung pilu kulantunkan dengan nada perih merintih. Terbayang semua apa yang telah kulakoni di dunia ini. Mengapa kerap kurasa dunia tak berpihak padaku? Apakah aku tak pantas untuk dicintai? Mengapa aku dicampakkan di saat kurasa bahagia mulai merengkuhku?

"Rabb...apakah rencanamu untukku?"

Lengking suaraku begitu lara tenggelam dalam derasnya hujan air duka. Kupuaskan meratapi nasib agar beban membatu di dada berdesakan keluar.

Masih lekat dalam ingatan, tahapan rencana yang kita susun bersama untuk kebahagiaan keluarga kecil tercinta. Tahapan demi tahapan terealisasi sesuai rencana. Tak ada keraguan padamu kekasih hati imam keluarga. Kau begitu sempurna di mataku dan anak-anak serta keluarga besarku.

Air duka itu tumpah lagi dan kali ini di bahu seorang lelaki remaja-anak sulungku. Hanya kepadanyalah aku dapat menumpahkan segala duka akibat luka yang diberikan ayahnya. Luka yang membuat mimpiku buyar. Luka yang mengantarkanku pada putusan yang sangat menyakitkan.

"Berhentilah menangis, Ma. Masih ada kami anak-anakmu yang begitu mencintaimu. Kita akan berjuang bersama mengapai bahagia."

Kuusap air duka karena kalimatmu anakku. Kalian adalah para pejuangku. Allah mengambil suatu nikmat untuk digantikan dengan nikmat berlipat ganda. Itulah yang kini kuyakini. Waktu akan mengajari kita akan banyak hal. Dan selama bersama kalian, aku akan terus berusaha tak lelah untuk berjuang menggapai bahagia yang dijanjikan Ilahi.

Dan esok saat ikrar perpisahan terucap tak ada sedih dan sesal. Ku kan sambut skenarioMu dengan ikhlas. Toh,  Engkau tak akan pernah ingkar dengan janji-janjiMu.

No comments:

Post a Comment